Kampusgw.com

Menu

Kartini Masa Kini Dari Jambi*

*Tidak ingin disebutkan identitasnya

Cerita dibawah ini adalah tentang sebuah passion, kerja keras, dan doa yang akhirnya dibungkus dengan keikhlasan. Ketika aku sudah sangat yakin dengan passion-ku, masa depan sudah ku gambar jelas, kerja keras sudah aku lakukan, berdoa tanpa henti, kemudian aku disadarkan olehNya, bahwa Dia Yang Maha Berkehendak, dan aku hanya hamba lemah yang harus tunduk ikhlas mengikuti apa yang Dia rencanakan.

Dia tidak memberikan apa yang aku inginkan, tapi akhirnya aku sadar, Dia memberi apa yang aku butuhkan.

Banyak yang berkata, pilihlah jurusan atau pekerjaan yang sesuai passion. Itu benar, tapi aku mendapat sisi lain bahwa penting bagiku untuk membuat jurusan dan pekerjaan itu menjadi passion.

Kamu Tidak Bisa kuliah

“Kamu tidak bisa kuliah tahun ini”. Satu kalimat dari ayah yang mengganggu pikiranku selama semester akhir kelas tiga SMA. Aku ditawarkan beberapa undangan PMDK dari universitas negeri ternama di Pulau Jawa karena aku masuk dalam 5 mahasiswa terbaik di sebuah sekolah favorit di Provinsi Jambi. Meskipun demikian, tak satu pun aku isi, kata-kata ayah itu yang menjadi pertimbanganku.

Aku sangat menyukai mata pelajaran komputer. Berkreasi menyusun kode-kode menjadi perintah yang akan dijalankan oleh komputer lebih menarik bagiku daripada menghitung interaksi unsur-unsur kimia yang sudah jelas rumusnya tak bisa dikreasikan. Ketika teman-temanku masih bermain Friendster, aku sudah beberapa kali berhasil mendapatkan username dan password orang lain. Bukan jahil, aku hanya mendapatkan kepuasan ketika berhasil. Kelihatan jahat ya, tapi sungguh, akun itu tidak aku otak-atik sedikitpun. Inilah aku, siswa yang berkeinginan masuk ke jurusan ilmu komputer, Sistem Informasi, ataupun Teknik Komputer, di Universitas Indonesia.

Kembali ke perkataan ayahku: aku tidak bisa kuliah. Itu pertama kalinya beliau mendikteku untuk soal pendidikan. Sejak SD, aku bebas memilih sekolah mana saja yang aku mau, yang penting lolos tes masuknya. Ya, aku memilih sekolah sendiri dari SD hingga SMA. Aku bebas mau kursus dimana saja, asal itu memang pilihanku, bukan ikut-ikutan teman. Aku bebas masuk jurusan apa saja, IPA atau IPS, asalkan aku memperhitungkan konsekuensinya. Sekarang, dengan tegas, beliau mengatakan, aku tidak bisa kuliah tahun ini karena keuangan keluarga kami sedang tidak baik.

“Kamu tidak bisa kuliah tahun ini” kalimat ini rasanya sakit sekali. Ayah tahu aku ingin kuliah di UI tapi kata ayah uangnya tidak cukup untuk membiayaiku di sana. Aku mencari info tentang beasiswa, tapi hampir semuanya mensyaratkan ada Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT/RW. Ini sulit, karena keluarga kami terlihat baik-baik saja dan aneh jika disebut tidak mampu. Ada juga beasiswa prestasi, tapi aku harus jadi mahasiswa UI dulu dan menunjukkan prestasiku dulu, baru bisa mendapatkan beasiswa itu. Waktu itu juga aku mencari info soal beasiswa luar negeri, ada banyak, tapi aku belum pernah tes TOEFL. Mereka tak mau menerima hanya sertifikat level conversation dari lembaga kursus di kota ku.

Rela Ganti Jurusan, Asal Diperbolehkan Kuliah

Pergumulan dalam diriku semakin rumit. Aku benar-benar menyukai programming. Aku rela menghabiskan berjam-jam untuk mempelajari kode-kode dan menciptakan program sederhana, mulai dari penghitung otomatis untuk beberapa rumus hingga kode lain. Beberapa buku sudah aku baca dan praktekkan. Permainan-permainan hack sudah aku coba. Beberapa jam istirahat sekolah aku habiskan di laboratorium komputer bersama guruku untuk belajar. Waktu jeda antara jam sekolah dan jam les pun aku habiskan disana. Aku optimis, suatu hari aku bisa bekerja di Google, Microsoft, atau perusahaan IT lainnya.

Ketegasan ayah membuatku harus mengganti cita-citaku ini. Aku berada di satu titik di mana aku memutuskan “Aku tetap harus kuliah, di jurusan manapun, universitas manapun, yang mau membiayaiku. Titik”. Aku mendapatkan info soal sekolah kedinasan. Meskipun aku sangat mencintai komputer melebihi pelajaran apapun, tapi aku ikhlas untuk masuk jurusan lain. Toh aku tetap bisa belajar programming di waktu senggang seperti sekarang. Aku mencari materi soal-soal ujian masuknya kemudian mempelajarinya.

Aku melakukan satu kesalahan fatal yang akhirnya mengubah hidupku secara drastis. Soal Integritas. Keikhlasanku untuk melepas semua PMDK malah menjerumuskanku kepada satu perbuatan curang. Seorang sahabat ingin sekali masuk ke sebuah perguruan tinggi ternama di Pulau Jawa. Ia meminta bantuanku, untuk memberikan semua sertifikat penghargaan yang pernah aku terima. “Kalau aku tidak bisa kuliah, harusnya aku bisa mengantarkan seseorang untuk kuliah” fikirku.

Aku punya banyak sertifikat lomba dan juga termasuk siswa yang aktif berorganisasi di dalam dan di luar sekolah, itu semua aku berikan kepada temanku. Ia menempel namaku dengan selembar kertas yang ditulis namanya, lalu memfotokopi, dan mengirimkannya sebagai berkas pendaftaran PMDK.

“Alhamdulillah, anak tante bisa diterima, gak nyangka banget. Oh ya, kamu masuk mana?” kata ibu sahabatku itu ketika kami bertemu di rumahnya beberapa bulan kemudian. Beliau terlihat begitu bahagia dan bangga dengan anaknya.

Rasanya aku ingin berteriak. Bukan karena aku iri, tapi karena aku telah bohong. Aku telah membohongi seorang ibu dari sahabatku; Juga, teman-teman, dan banyak pihak. Ini perkara besar dan aku bingung harus bagaimana, semua telah terjadi. Sahabatku itu mengucapkan terima kasih melalui SMS karena tidak mengatakan fakta kecurangan kami kepada ibunya, aku menangis, dan beban pikiranku semakin berat. Penyesalan ini meyakinkanku bahwa tidak ada satu kecurangan pun yang harus diperbolehkan, meskipun itu membahagiakan.

Hidupku berlanjut, aku tetap ingin kuliah. Sertifikat-sertifikatku bisa mengantar sahabatku sampai sana, harusnya aku bisa masuk di kampus lain dengan mudah, aku yakin. Aku ikut segala macam tes beasiswa. Beruntungnya, karena aku peringkat 4 di kelas unggulan dan rata-rata nilai raportku di atas 8.5, aku bisa mengikuti beberapa tes gratis. Banyak universitas di Jakarta datang ke kotaku untuk menjaring siswa melalui tes.

Mendapatkan Beasiswa

Doa yang tak henti dan tes yang berjalan lancar akhirnya membuahkan hasil. Alhamdulillah, beberapa universitas swasta menerimaku dan memberikan beasiswa, ada yang beasiswa penuh ada juga yang separuh gratis. Aku girang bukan main. Kabar ini kusampaikan pada ayah dan jawabannya: “Tahun depan saja kuliahnya”.

Ayah takut tak bisa membiayai kebutuhan bulananku di Jakarta. Aku bilang aku akan bekerja, apa saja, mengajar privat atau kerjaan paruh waktu yang lain. Ayah tetap tidak menyetujuinya. Satu persatu tenggat waktu konfirmasi beasiswa itu lewat dan aku tak bisa juga mendapatkan tanda tangan ayah.

Suatu hari sabtu, orang dari universitas swasta yang menawarkan beasiswa penuh. Ayah pasti tetap tidak mengizinkan, fikirku. Kami diundang untuk ikut tes masuknya, lagi-lagi, gratis karena nilaiku. Esoknya, tanpa persiapan apa-apa, aku ikut tesnya. Iseng, pikirku.

Siapa sangka, perkenalan hari sabtu, dan tes di hari minggu, aku lulus beasiswa penuh (Lagi). Bagaimana harus aku katakan ini pada ayah agar ia mengizinkanku. Ku putuskan untuk memberi tahu tante dan om ku lebih dulu, agar bisa membujuk ayahku.

“Uang Kuliah, Uang buku, Laptop, semuanya gratis” jelasku kepada ayah ketika beliau bertanya. Aku hanya perlu uang bulanan. Kalau ayah berat mencarikan untuk tempat tinggalku, kan, ada 2 adik kandungnya yang tinggal di Jakarta. Lagi pula, aku mau bekerja keras untuk mendapatkan uang saku tambahan. Aku benar-benar meyakinkan ayahku, tapi beliau tetap tidak mengizinkan.

Om yang tinggal di Jakarta berkali-kali menelpon ayah dan membujuk, begitu pula nenek dan tanteku yang tinggal di dekat rumah kami. Keputusan ayah tetap sama: aku kuliah tahun depan saja. Kalau mau kuliah, kuliah di kota kami saja, jangan ke ke luar kota. Ibuku membujuk, tak apa kuliah di sini, ambil jurusan bahasa inggris, kan kamu sudah pernah ditawari mengajar bahasa inggris di tempat kursusmu, nanti bisa kuliah sambil mengajar. Kuliah disini ambil jurusan kedokteran, juga bagus kan. Kalau sekolah kebidanan juga lumayan. Jangan ke luar kota.

Aku memang mau kuliah apa saja, yang penting kuliah, tapi jangan kedokteran atau bahasa inggris sih” gumamku dalam hati saja, tak berani berkata. Meski kursus sudah sampai tingkat conversation, aku tak mau kuliah pendidikan bahasa inggris. Meski juara 4 di kelas unggulan IPA 1, bukan berarti aku tak mau jadi dokter. Melihat darah saja aku sudah lemas apalagi menjadi dokter atau bidan, aku tak mau.

Aku tak mengerti, kalau ayah bisa mengizinkanku kuliah kedokteran di kota kami, kenapa aku tak diizinkan kuliah di luar pulau Jawa? Apa alasannya karena uang? Aku menjadi ragu.

Perjuangan Terakhir

Fotokopi raport, kartu keluarga, dll diam-diam aku kirimkan berkas ini setelah pengumuman lulus beasiswa itu. Ini senjata terakhirku, ya kirim saja. Pengiriman berkas selanjutnya adalah Surat Pernyataan bahwa penerima beasiswa bersedia menerima beasiswa dan tidak akan mengundurkan diri, harus ditanda tangani orang tua, pakai materai 6000.

Aku bisa saja memalsukan tanda tangan ayah. Om yang di Jakarta siap mengirimkan tiket dan membiayaiku di Jakarta. Kabur dari rumah untuk kuliah adalah hal yang mungkin dilakukan. Ya, itu mudah saja. Namun, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa tidak akan melakukan kecurangan apapun setelah kejadian kecurangan PMDK sahabatku itu. TIDAK. Seumur hidup, aku tidak mau curang. Titik. Lagi pula, Ridho Allah SWT ada di ridho orang tua, untuk apa aku kuliah di Jakarta kalau tidak diridhoi-Nya?

Pada titik ini, ketidak-tahuanku atas renca-Nya membuatku benar-benar menyerahkan nasibku kepada Dia, Rabb Yang Maha Mengetahui. Aku sudah berusaha maksimal menjadi siswa terbaik untuk masuk Ilmu Komputer UI. Aku iklas melepas cita-citaku dan bersedia kuliah di jurusan apa saja yang mau membiayaiku. Ketika aku mendapatkan beasiswa, hati ayah belum juga tergerak untuk mengizinkanku kuliah. Nenek, tante, paman, semua sudah berusaha membujuk ayah. Doa dan tangisku sudah tak terhitung lagi. Namun, Rabb belum juga menggerakkan hati ayah. Lalu aku harus bagaimana?

Aku Ikhlas

Ketika perjuanganku sudah maksimal, air mata juga sudah habis untuk berdoa, kemudian apa yang aku dapatkan bukanlah apa yang aku inginkan, maka kemudian aku berusaha ikhlas dan bertawakkal. Aku hanya hamba yang tak bisa menolak apa yang Dia rencanakan. Aku hanya hamba yang tak tahu apa yang terbaik untukku, Dia yang Maha Mengetahui. Ya, Aku menyerah kepadaNya, sebagai Zat Yang Maha Berkehendak.

Aku menandatangani kontrak untuk menjadi guru komputer honorer di sebuah Madrasah Aliyah. Liburan setelah lulus SMA aku habiskan untuk mengikuti SNMPTN, bukan untuk masuk UI, tapi untuk masuk jurusan pendidikan bahasa Inggris. Aku melupakan semua semua cita-citaku. Beberapa bulan lagi, aku akan jadi guru honorer sekaligus mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa Inggris.

Aku yakin, semua jurusan itu bagus. Tidak ada satu yang lebih bagus dari yang lain, yang penting jurusan itu adalah yang disukai. Aku berusaha menumbuhkan kecintaanku kepada jurusan bahasa Inggris sama seperti cintaku pada komputer. Cita-citaku berubah, aku akan menjadi seorang guru Komputer di sebuah sekolah Internasional.

Suatu hari, aku mendapat tetangga baru. Gadis seusiaku yang berasal dari kabupaten lain. Kami beberapa kali belajar bersama untuk menghadapi SNMPTN. Satu malam, di ruang tamu, ia melihat piala-piala ku. Ada ayah disitu. Dia ini berkata “Wah kamu sudah banyak piala seperti ini, menjawab soal-soal latihan SNMPTN juga sudah benar semua, kenapa kok kamu memilih kuliah pendidikan bahasa inggris disini?” Aku diam, kemudian melirik ke ayah, lalu mengalihkan pembicaraan kami.

Beberapa kali tante dan omku main ke rumah. Di depan ayah juga, mereka berkata “Wah, akhirnya ga jadi ya kuliah di luar? Gapapa lah, disini aja, biar piala di rumah tambah banyak”. Teman-temanku mengirimkan SMS perpisahan, mereka berangkat ke Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta. Sebagian untuk berlibur karena sudah dapat kursi di universitas, sebagian berangkat untuk les intensif persiapan SNMPTN.

Hanya Rabb Yang Maha Mengatahui apa yang ada dalam hatiku ketika mendengar dan membaca itu semua dan Dia pula yang menegarkanku.

Keputusan Akhir Ayah

Rabb Yang Maha Menguasai hati telah menegarkan hatiku. Aku ikhlas, benar-benar ikhlas dan berserah menerima apa yang dia gariskan. Beberapa minggu lagi tenggat waktu pengumpulan Surat Konfirmasi beasiswa Universitas X. Aku memang sudah ikhlas, tapi apa salahnya jika hanya bertanya kepada ayah?

Ayah, sebentar lagi tenggat waktu pengumpulan surat konfirmasi beasiswa, mau konfirmasi menolak atau menerima?’ aku memberanikan diri. Baru kali ini aku berani bertanya langsung dan duduk berhadapan untuk berdiskusi serius. Antara Aku dan orang tuaku memang tidak terbiasa berdiskusi seperti ini. Sejak kecil aku tinggal dengan nenek, terbiasa bercerita dengan nenek, dan nanti neneklah yang akan menyampaikan perasaanku kepada orang tuaku atau sebaliknay. Beda dengan adikku yang dekat dengan orang tuaku. Ayah diam saja, aku anggap jawabannya adalah menolak.

Besok malamnya ayah memanggilku.

“Kamu benar-benar mau kuliah di Jakarta?” Ayah bertanya. Mendengar pertanyaan ini, perasaanku tak karuan. Aku sudah tanda tangan kontrak sebagai guru honorer, aku sudah ikhlas mengganti cita-citaku, lalu kenapa justru ayah bertanya lagi?

“Ya” aku menjawab langsung dengan tegas.

“Yakin bisa kuliah jauh disana? Mandiri? Dan bisa jaga diri?” Entah bagaimana, aku merasa ada harapan lagi.

“Ya!” dengan yakin aku menjawab.

“Jangan langsung bilang ‘Ya!’ kamu fikirkan dulu baik-baik” nada ayah sedikit naik. Aku terdiam. Sudah lama aku berfikir. Aku siap bekerja paruh waktu, aku siap kalau harus menahan diri. Aku tak banyak menuntut, hanya izin. Dalam hati saja aku berkata.

“Kamu tahu, sejak kecil ayah tak pernah melarang untuk urusan pendidikan. SD kamu pilih sendiri. Kamu kursus atas keinginan kamu sendiri. SMP dan SMA kamu pilih sendiri. Semua kebutuhan pendidikanmu kami penuhi. Sesulit apapun ekonomi, kami tetap memprioritaskan kebutuhan pendidikanmu dan adik-adimu.” Ayah diam sebentar, kemudian melanjutkan,

“Memang di awal ayah sempat melarangmu kuliah, tapi ayah tak bermaksud begitu. Ini bukan soal uang ayah tidak mengizinkanmu kuliah di luar. Ini soal kekhawatiran kami. Kamu anak perempuan, kamu belum bisa mandiri. Baju saja masih dicucikan. Kamu juga sering sakit. Kalau kamu disana, siapa yang menjagamu? Siapa yang mengurusmu?” ayah diam lagi.

“Ayah dengar, beasiswamu itu bersyarat ya?” ayah sepertinya ingin mendengar suaraku yang dari tadi terdiam.

“iya, kalau Indeks Prestasinya tak mencapai target, maka beasiswa akan dicabut. Uang kuliah yang harus dibayarkan selama 4 tahun totalnya lebih dari 100 juta” jawabku.

“Ayah tidak mau kamu tinggal di rumah om. Kamu harus kost. Kamu yakin bisa bertahan di Jakarta?” tanya ayah lagi.

Bisa!” aku langsung menjawab dengan yakin.

Pikirkan dulu, baru jawab! Pergaulan di Jakarta itu sulit, salah-salah, kamu bisa rusak di sana” ayah sangat tegas.

“Begini saja, malam ini kamu fikirkan baik-baik kata-kata ayah ini:Ayah tidak melarang juga tidak mengizinkan kamu kuliah di Jakarta. Namun, jika kamu sampai rusak (salah pergaulan), jangan pernah kembali lagi ke rumah ini. Sekarang kembali ke kamarmu, dan pertimbangkan syarat itu. Besok malam beritahu ayah apa keputusanmu dan akan ayah setujui

Kira-kira itulah inti dari diskusi kami malam itu. Aku menangis haru. Dia telah menjadikan perjalananku berliku selama 3 tahun ini.

Dia yang membuatku gigih berusaha menjadi yang terbaik selama 3 tahun.

Dia yang mengajarkanku buruknya sebuah kecurangan di tahun terakhirku.

Dia yang menyadarkanku bahwa aku punya pilihan lain.

Dia yang menegarkan hatiku untuk ikhlas.

Dia menunjukkan kuasa-Nya dan menyadarkanku bahwa aku hanya hamba yang lemah.

Dia mengajarkanku arti ikhlas dan bagaimana berserah seutuhnya.

Sekarang, apa lagi yang rencana-Nya? Aku harus memilih? Malam itu aku sujud dan meminta kepada-Nya untuk menunjukkanku apa yang harus aku pilih, karena pilihan-Nya lah yang terbaik.

Diputuskan

Esok malam aku berhadapan lagi dengan ayah. Aku menyatakan kesanggupanku untuk mandiri dan merantau di Jakarta. Aku akan berusaha untuk menjaga kepercayaan ayahku dan menjaga diriku sendiri. Aku siap. Bismillah. Surat itu bermaterai yang masih kusimpan itu akhirnya ditandatangani dan aku kirimkan.

Diskusi malam itu akhirnya menjawab teka-teki luar biasa. Tentang kerja keras, integritas, dan ikhlas, Dia telah merencanakan semua ini, bukan untuk menyiksaku, tapi untuk memanggilku untuk kembali dekat kepada-Nya.

Saat ini

Saat ini aku sedang berada di semester akhir. Sesuai pesan ayah, aku masih menjaga kepercayaannya dan menjaga diriku. Soal syarat beasiswa, IPK-ku melewati batas minimal, bahkan bisa diatas 3.5. Watakku belum berubah, aku tak pernah puas dengan satu pencapaian. Aku mendapat beberapa prestasi lain di bidang akademik dan non-akademik.

Aku pernah merasa stres ketika memimpin sebuah tim yang bertanggung jawab untuk mencari 450 juta untuk mendanai sebuah acara, dan 2 minggu sebelumnya kami kekurangan 200an juta. Parahnya, ketika itu aku sedang UAS. Tetap, Dia Yang Maha Berkehendak, membimbingku hingga akhirnya kami tidak jadi rugi, justru surplus 20-an juta.

Sekarang aku memimpin sebuah komunitas yang aku dirikan sendiri yang bergerak di bidang sosial. Komunitas ini pun mendapat penghargaan sebagai The most inspiring student social movement 2012 oleh salah satu lembaga nasional.

Soal kerja paruh waktu yang aku janjikan kepada ayah? Wah, ayah justru melarangku untuk bekerja dan memintaku untuk fokus kuliah. Meskipun demikian, aku tetap teguh ingin mengajar. Bukan soal apa, ini soal bahasa Inggrisku yang semakin menghilang karena tak dipakai. Aku putuskan untuk mengajar privat matematika untuk siswa-siswa sekolah internasional yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga aku bisa mendapatkan uang sekaligus mengasah kemampuanku berbahasa inggris. Bahkan, akhirnya aku bisa membantu teman-temanku, dengan memberikan tawaran mengajar kepada mereka.

Soal UI? Aku tidak jadi berkuliah disana, tapi aku bersanding dengan teman-teman. Aku pernah masuk di sebuah perusahaan multinasional sebagai anak magang, ketika itu aku menjadi project leader yang mana timku adalah anak UI, Nanyang Technological University, National University of Singapore, dan Universitas Jambi.

Soal kecintaanku kepada komputer? Cinta itu tidak harus memiliki, katanya. Perlahan passion-ku berganti menjadi leadership dan community development. Aku ingin melakukan sesuatu untuk negaraku dan mengajak orang lain untuk berhenti mengeluh dan kemudian beraksi. Memajukan negara ini bukan hanya urusan pejabat-pejabatnya, tapi kerja sama semua warga negara, aku yakin itu.

Dari perjalanan 7 semester ini, aku menyadari 1 hal, bahwa Rabb ketika itu memang tidak memberikan apa yang sangat aku inginkan dan aku usahakan. Dia memberikan apa yang aku butuhkan. Ini pilihan-Nya, yang insyaallah, adalah yang terbaik untukku.

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!