Kampusgw.com

Menu

Kegigihan adalah Kuncinya

Dalam UUD 1945 dan beberapa aturan turunannya telah jelas dituliskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pun salah satu tujuan didirikannya negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Sayangnya, mimpi anak bangsa untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan masih jauh panggang dari api. Tak mengherankan, sering kali kita mendengar cerita-cerita inspiratif dari saudara-saudara kita yang berjuang menimba ilmu di tengah keterbatasan yang melilit.

Salah satu sosok yang patut dipelajari perjuangannya adalah Rosita. Lahir dan besar di pinggiran kota Palembang pada 24 November 1990. Anak ke-6 dari sembilan bersaudara ini bertahan hidup di kampung terpencil yang jauh dari hingar-bingar kota. Untuk pergi ke kota terdekat – Palembang  saja, ia harus naik perahu atau menyewa Speedboat. Ini merupakan alternatif satu-satunya ke kota mengingat belum ada akses jembatan yang menghubungkan banyaknya anak Sungai Musi tersebut.

Masa SD sampai SMA

Keterbatasan sarana dan prasana lantas sama sekali tidak menyurutkan semangat Rosita untuk maju. Selama belajar di SD, ia selalu menjadi yang terdepan dalam meraih prestasi. Karena jiwa sosial dan pengorbanan yang tinggi, ia pernah mengajar Matematika untuk adik-adik kelas 3 ketika dirinya di kelas 4 karena absennya guru. Ia pun sering tampil menjadi pembaca UUD 1945 dalam upacara setiap tahunnya. Kisah Rosita benar-benar mirip dengan perjuangan Aling dan teman-teman– siswa SD Muhammadiyah di Pulau Belitung dalam Novel Laskar Pelangi.

Perjuangan dan pengorbanan Rosita terus diuji memasuki SMP. Lagi-lagi karena akses. Karena jauhnya jarak rumah orang tua Rosita dengan SMP, mendorongnya untuk memutuskan tinggal di kontrakan (kos).  Keberanian dan tekad yang bulatnya rupanya membuat jiwa kepemimpinannya mulai terasah di masa ini. Ia dipercaya menjadi ketua OSIS, sebuah amanah yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Tidak hanya itu, ia juga aktif di Pramuka dan atletik. Ia pun sering mewakili sekolahnya dalam perlombaan lompat, loncat dan lari.  Prestasi akademik pun tidak mengecewakan. Ia paling sering meraih peringkat pertama di masa ini.  Tentu ini adalah kisah menarik mengingat anak-anak lulusan SD di kampungnya sudah sangat kuat mendapatkan stigma negatif. Tapi lagi-lagi Rosita, ia berhasil membuktikan bahwa itu hanyalah stigma. Ia membuktikan dengan disiplin, kerja keras, dan semangat pantang menyerah.

Memasuki SMA, jalan panjang perjuangan Rosita semakin berliku. Ia memutuskan untuk tidak belajar di kota Palembang untuk melatih kemandiriannya. SMA Plus Negeri 2 Banyuasin adalah pilihannya. Dengan ketekunan belajar, dia berhasil menembus ketatnya persaingan di sekolah favorit tersebut. Dia merasa beruntung dan bersyukur mengingat biasanya siswa-siswa yang belajar di situ adalah anak dari para pejabat daerah, sangat jauh dari profesi orangtuanya yang notabennya adalah petani.

Seperti pengalamannya di SMP, ia kembali memutuskan untuk menyewa kamar kontrak (kos) selama belajar di SMA. Karena orang tua Rosita mengirim uang tiga bulan sekali, ia harus jeli memutar otak agar uangnya cukup untuk bertahan hidup. Berkat bantuan guru dan teman-teman dekatnya, Rosita mampu bertahan sampai lulus. Ia memenangkan berbagai pertandingan seperti astronomi, jurnalistik, dan tenis meja; mengharumkan sekolahnya sekaligus mengoptimalkan hadiah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Perjuangan Mendapatkan Beasiswa

Menyadari orang tuanya memiliki banyak anak, ia tidak ingin menambah beban bagi mereka. Rosita bertekad untuk mendaftar berbagai beasiswa penuh maupun parsial. Usaha dan doanya ternyata tidak sia-sia, ia diterima di berbagai kampus seperti Univesitas Sriwijaya Palembang, Akademi Teknologi Industri Padang, dan Universitas Paramadina Jakarta. Dengan pertimbangan yang sudah bulat, ia memutuskan untuk mengambil Universitas Paramadina karena ia lolos dalam program beasiswa penuh – Paramadina Fellowship angkatan pertama jurusan Psikologi.

Jerih payah Rosita untuk mendapatkan Paramadina Fellowship layak untuk ditiru. Dia hanya memiliki waktu 1 minggu sebelum penutupan pendaftaran beasiswa tersebut. Melengkapi berbagai dokumen yang disyaratkan seperti fotokopi rapor, catatan prestasi akademik dan non-akademik, surat referensi dari guru dan menulis esai. Pada waktu itu Rosita merasa tidak percaya diri untuk merampungkan esai dan memohon gurunya untuk mengoreksi. Lagi-lagi ada kendala saja, guru yang dimohon untuk mengoreksi sedang sibuk, akhirnya dia ikhlas untuk mengirimkan berkas pendaftaran semampunya.

Diumumkan lolos melalui tahap pertama seleksi Paramadina Fellowship, Rosita dipanggil untuk tes wawancara di kota Palembang. Ia berangkat dari rumah menuju Palembang sebatang kara dan menginap di rumah guru untuk menghemat biaya. Suatu hari ia mendapatkan telepon dari Jakarta, akan tetapi karena susahnya sinyal telepon, ia lantas tidak dapat mengangkatnya. Pihak panitia beasiswa Paramadina baru dapat mengubungi Rosita setelah mencoba beberapa kali. Berita gembira, Rosita mendapatkan beasiswa penuh tersebut.

Jalan terjal Rosita mendapatkan beasiswa tidak sampai di titik ini, ia sulit mendapatkan izin dari orang tuanya. Bapak dan Ibu Rosita agak ragu dan tidak yakin jika benar-benar ada beasiswa penuh untuk puterinya. Berkat kegigihannya meyakinkan orang tua, Rosita diizinkan untuk kuliah di Universitas Paramadina. Ia diantar sampai asrama dan kampus di Jakarta oleh Bapak Ibunya.

Perjuangan Kuliah di Ibu Kota

Rosita datang di Jakarta dengan penuh semangat untuk maju. Mimpi-mimpi masa kecilnya diharapkan dapat dijembatani di megapolitan ini. Walaupun demikian, adaptasi budaya menjadi tantangan utama baginya. Di kota ini Rosita harus mampu menyesuaikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat Jakarta yang beberapa diantaranya kurang cocok dengan asalnya di Palembang. Dengan niat baik dan diiringi dengan tekad bulat, Rosita mampu menghadapi tantangan dan berhasil berbaur dengan masyarakat luas dari berbagai golongan dan strata sosial.

Selama di menimba ilmu di Universitas Paramadina, Rosita tidak hanya berkutat di ranah akademik. Ia aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan seperti Paduan Suara, Dewan Keluarga Masjid, dan Himpunan Mahasiswa Psikologi. Ia juga aktif terlibat di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Yayasan Gagah Nurani Indonesia.

Rosita juga bekerja paruh waktu untuk menambah uang saku dan pengalamannya. Ia tercatat sebagai tester psikologi di beberapa tempat, observer di klinik dan assessor di sebuah konsultan. Rosita berhasil menamatkan pendidikannya tepat empat tahun di bidang psikologi. Inilah pesan Rosita untuk teman-teman:

Kalau sudah punya mimpi, peganglah itu karena kalau sudah ada niat maka Allah juga akan bantu.

Categories:   Jurusan

Comments

  • Posted: Feb 8, 2013 22:28

    anggi

    sangat menginspirasi Thanks ^^
  • Posted: Feb 26, 2013 06:14

    Agung Setiyo Wibowo

    Terima kasih Anggi.
  • Posted: Jun 20, 2013 16:53

    ndary

    Sempet Netes , Pembangun jiwa sekali....

error: Content is protected !!