Kampusgw.com

Menu

Atas Nama Asa dan Harap

“Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin hidup, aku ingin merasakan sari kehidupan.” Edensor-Andrea Hirata

***
Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk mengindari dingin malam yang mencekam. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keadaan ini.

Sekarang aku berada di antara ratusan pertanyaan yang seakan-akan memandangiku dan merintih meminta jawaban. Mataku tak bisa terpejam karena pertanyaan itu, mungkin di bawah sadar, otakku pun berpikir pertanyaan yang sama.

“Apalah arti kuliah? Kamu perempuan! Yang menentukan akhir-akhirnya adalah suamimu. Kamu dapat bekerja atau hanya menjadi istri yang baik di rumah saja itu keputusan dia.” Begitulah kata tetanggaku yang realistis

“Kamu punya uang darimana untuk kuliah?” tanya tetanggaku yang lainnya

Aku tidak bisa menyalahkan ucapan tetangga-tetanggaku yang begitu realistis cenderung pesimis tersebut. Aku memang seorang perempuan dan harusnya itu tidak mengganggu apapun dalam kehidupan modern ini. Tapi ternyata itu salah. Di lingkungan rumahku, itu bisa begitu bermasalah. Lingkungan rumahku memang berada di Jakarta, pinggiran Jakarta Barat tepatnya, walaupun demikian pemikiran konservatif mengenai kedudukan wanita tidak lantas hilang dengan perubahan zaman.

Bagi lingkunganku, cepat atau lambat perempuan akan menikah dan sekolah tinggi-tinggi hanya akan percuma karena toh perempuan akan mengurus rumah tangganya kelak. Maka, dari itu, banyak sekali perempuan di lingkunganku yang sudah menikah di umur belasan. Mereka berhenti sekolah, menikah, dan mengurus rumah tangga. Teman dekatku pun sekarang telah menikah dan hidup dengan suaminya di Depok. Lalu haruskah aku berhenti kuliah dan mengubur mimpiku dalam-dalam?

Jauh dalam hati, aku sudah tahu bahwa keinginan terbesarku adalah dapat berkuliah, mengenyam pendidikan yang tinggi dan berguna bagi bangsa. Aku ingin menggunakan jaket almamater, berdiskusi ilmiah dengan mahasiswa lainnya, berdebat mengenai politik, sosial, atau apapun itu. Rasanya begitu hebat melihat mahasiswa melakukan hal-hal tersebut di salah satu program televisi yang kutonton. Rasanya begitu menyenangkan membayangkan diriku berorasi di depan orang-orang yang sepaham atau tidak denganku. Mengucapkan kata “Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!” Yah inilah mungkin yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi. Aku sadar, sangat sadar bahwa kemampuan ekonomi keluargaku tak akan cukup untuk membiayai kuliahku. Ayah pengangguran dan Ibu seorang tukang kue.

Aku tak mungkin mengungkapkan keinginanku kepada ibu. Aku terlalu tega jika mengatakan mimpiku tersebut. Untuk makan saja, ibu sudah berjuang setengah mati. Ia bangun setiap jam 2 pagi untuk membuat kue dan tidak tidur lagi hingga tengah malam menjelang. Kadang di malam hari, ibu tidur di dapur karena sudah tak kuatnya ia menahan lelah. Sedih melihat perjuangan ibu untuk aku dan adikku, mengingat bagaimana dahulu aku mencium tangan ibu dengan lembutnya namun sekarang, setelah beberapa tahun berlalu dan hidup susah, yang ada hanyalah tangan kasar dan keriput termakan zaman. Ayah pun sudah menderita sakit diabetes dari beberapa tahun lalu dan itu membuat kondisinya cepat lelah.

Meskipun demikian, aku bersyukur terlahir dari keluarga ini, yang selalu mengajarkanku bersyukur dalam keadaaan setidak menyenangkan apapun. Ibu mengajariku lebih baik mensyukuri apa yang dimiliki daripada menyesali apa yang tidak aku miliki. Dan aku pun tahu Tuhan selalu punya cara yang indah untuk membuat hamba-Nya selalu tersenyum meski dalam tangis sekalipun. Bukankah kopi itu akan terasa pahit jika tak berkolaborasi dengan gula. Gula juga tak akan terasa nikmat jika tak bercampur dengan kopi. Dan begitulah hidup, tak akan lengkap jika hanya merasakan sari satu sisi saja, entah manis ataupun pahit. Semua telah diatur Tuhan dengan seimbang, dengan perhitungan yang jauh dari nalar manusia mana pun.

Aku berusaha sebisaku untuk mengumpulkan uang agar aku kuliah. ‘Yang penting usaha dulu’ begitu ucapku. Dengan gaji Rp 25.000,00/bulan aku mengajar anak-anak sekolah di lingkungan rumahku setiap Sabtu dan Minggu. Aku tak berani memasang gaji lebih dari itu karena aku tahu lingkungan rumahku bukan lingkungan menengah ke atas dan banyak dari orang tua anak yang kudidik bekerja sebagai buruh. Hari mengajar pun aku sesuaikan agar tidak menganggu sekolahku dan aku dapat membantu ibu di hari lainnya.

Sadar bahwa uang yang kudapat dari mengajar tidak akan cukup membantuku untuk melanjutkan kuliah. Aku mencari jalan lain untuk mendapatkan uang. Aku mulai berjualan di sekolah. Aku membeli makanan kecil sebisaku dari agen makanan dan menjualnya lagi kepada teman-temanku. Menawarkan nasi bungkus dan jamur krispy buatan ibu yang telah dibuatnya semalaman suntuk. Menjual keripik bawang, makaroni, gorengan, lontong, hingga menjual cokelat di Monumen Nasional (Monas) pernah kulakukan. Semua demi harapan bisa melanjutkan kuliah.

Untuk ucapan tetanggaku, aku sudah tidak peduli lagi sekarang. Yah aku memang perempuan. Maka dari itu aku harus pintar, kuliah dan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya agar anak-anakku terdidik menjadi pintar. Aku ingin seperti Helen Keller, seorang perempuan dengan segala keterbatasannya yang bisa membuat suatu kontribusi dan perubahan terhadap dunia sehingga menginspirasi begitu banyak orang. Maka dari itu, aku harus kuliah agar aku tahu masalah dunia dan lebih bijak untuk mengatasinya.

Hingga pendaftaran untuk SNMPTN dibuka, Aku masih bingung bagaimana mendapatkan uang untuk kuliah. Aku melihat teman-teman yang lain sibuk membicarakan mengenai harus ke mana mereka kuliah sedangkan aku masih disibukkan dengan pertanyaan apa aku bisa kuliah atau tidak? Rasanya begitu bosan dengan pertanyaan itu, tapi anehnya sesering apapun pertanyaan itu muncul, aku tak pernah mengetahui jawabannya.

Bingung, cemas, menyatu semua menjadi keragu-raguan hingga bodohnya aku melewatkan satu hal, yaitu aku melewatkan untuk mendaftar beasiswa Bidik Misi. Oh betapa bodohnya aku pada saat itu, mengapa aku terlalu disibukkan dengan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Namun entah mengapa, kebodohan itu membuatku berpikir cara lain agar aku bisa kuliah. Kesempatan Bidik Misi memang telah terbuang namun kesempatanku untuk dapat berkuliah belumlah terbuang. Akhirnya, aku mengikuti berbagai kompetisi lomba. Uang adalah tujuanku mengikuti berbagai kompetisi tersebut. Kupikir tak ada salahnya jika aku mengikuti berbagai lomba, siapa tahu aku dapat menang dan mendapatkan hadiah yang dapat kugunakan untuk kuliah.

Atas izin Tuhan, beberapa lomba dapat aku menangkan. Beberapa lomba tersebut antara lain Juara I Lomba Cipta Alat Ilmiah tingkat Nasional, Juara I Lomba Cerdas Cermat tingkat Jabodetabek, Juara II Pendidikan Remaja Sebaya tingkat Provinsi, Juara I Lomba Majalah Dinding tingkat Jabodetabek, Juara II Festival Penulisan Esai ‘Kekerasan, Perdamaian, dan Ke-Indonesiaan’ kategori SMA tingkat Nasional. Selain itu, 4 buku hasil karyaku pun telah diterbitkan oleh 4 penerbit berbeda, uang royalti yang kuterima langsung kusimpan untuk keperluan kuliah nanti.

Faktanya Tuhan berkehendak lain, karena keperluan keluarga, uang tabungan tersebut habis digunakan. Akhirnya hingga hari terakhir pendaftaran SNMPTN tiba, aku belum mendaftar ujian karena tak memiliki cukup uang untuk membeli kartu pendaftaran SNMPTN. Ternyata Tuhan mengganti kesempatan tersebut dengan cara yang indah, betapa beruntungnya aku karena temanku yang telah diterima di SNMPTN Undangan, menyerahkan kartu SNMPTN-nya yang belum diisinya untukku.

“Untuk Selly, semoga menjadi perempuan yang lebih baik, jangan pernah menyerah” Begitulah kata-kata indahnya sembari memberikan nomor pendaftaran & password yang perlu diisikan untuk mendaftar.

Walaupun demikian, aku tidak tahu apakah aku berhasil untuk masuk ke Universitas yang kuinginkan atau tidak. Aku cukup tahu diri, aku tidak pernah les atau bimbel untuk tes SNMPTN ini. Aku hanya membaca buku-buku yang kupinjam dari teman-temanku yang telah lulus SNMPTN Undangan. Aku harap itu cukup untuk menolongku. Hingga tanggal pengumuman tiba, aku membuka website yang telah diberitahukan dan alangkah bahagianya aku mengetahui bahwa aku diterima di Universitas Negeri Jakarta dengan prodi Pendidikan Matematika, kupeluk ibu dan kurasakan air bergulir dari matanya. Terima kasih Tuhan.

Pengumuman tersebut adalah awal bagiku untuk menjadi lebih baik dan juga janji bahwa aku harus bekerja lebih keras agar aku dapat membiayai pendidikanku di sana. Diterima sebagai mahasiswa UNJ telah cukup memudahkanku untuk bekerja sebagai guru privat. Semua lowongan privat kuisi. Akibatnya, jadwal yang kumiliki menjadi sangat padat. Dalam satu minggu, aku hanya libur di hari Kamis karena setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu kugunakan untuk mengajar. Rasanya begitu lelah sekali melakukannya setiap hari. Jangankan untuk menonton televisi sebentar, waktu untuk makan pun seringkali kukorbankan karena ketiadaan waktu. Jam mengajar yang lebih dari 6 jam satu harinya pun membuatku harus pulang lewat dari jam setengah sepuluh malam. Rasanya begitu menakutkan berada di malam hari seperti itu apalagi mengingat aku adalah perempuan.

Setelah belajar dan bekerja mati-matian, akhirnya aku mengetahui hasil belajar selama satu semester. Alhamdulillah, aku mendapat IP 4 dan itu membuat orang tuaku berlinang air mata mengetahuinya. Kebahagiaan tak berhenti di sana, karena IP itu aku mendapat tawaran untuk mendapatkan beasiswa Bidik Misi yang telah aku lewatkan begitu saja. Aku bahagia sekali pada saat itu. Langsung ketelpon ibu untuk mengabarinya. Ibu pun langsung menangis mengetahuinya.

“Ibu ini adalah hasil perjuangan kita. Anakmu sudah bisa kuliah dengan beasiswa sekarang. Aku akan lulus ibu, mendapatkan gelar sarjana, membawa ibu ke masa depan yang lebih baik”, janjiku pada ibu.

Selly Anastassia Amellia Kharis

Selly Anastassia Amellia Kharis
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!