Kampusgw.com

Menu

Berjuang Habis-Habisan Untuk Mengubah Nasib

Diiringi dengan musik “Ballads of Cehicle” (About A Boy), malam ini saya ingin menuliskan cerita yang bermakna dalam bidup saya. Bagian ini saya sebut bercerita. Perkenalkan nama saya Muhammad Adib Mustofa. Saat ini saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor Fakultas Kedokteran Hewan. Saya lahir di Tulungagung, Jawa Timur pada 9 April 1992. Cerita panjang yang akhirnya mengantarkan saya sampai di salah satu kampus terbaik di tanah air.

Masa Kecilku

Saya terlahir di keluarga petani. Untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari, ibu saya bekerja sebagai penjahit dan bapak saya bekerja di sawah untuk memenuhi kebutuhan dapur, beras dan sebagainya. Saya anak tunggal dalam keluarga ini. Walaupun saya anak tunggal, cerita orang-orang mengenai anak tunggal yang selalu dimanjakan oleh orang tuanya tidak pernah saya alami. Keluarga kami termasuk pendatang di desa tempat kami hidup. Ini bukan sesuatu yang baik di desa saya, ketika menjadi pendatang semuanya harus diperjuangkan. Untuk membangun rumah, bapak saya harus merantau terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang dan kemudian baru bisa membangun rumah.

Saya sedikit kehilangan peran bapak di masa kecil saya. Cerita saya berawal dari ketika lulus SMP nilai saya tidak begitu baik. Sebenarnya cukup untuk masuk pada SMA negeri akan tetapi bapak saya tidak mengehendaki untuk saya masuk ke SMA Negeri tentunya dengan berbagai pertimbangan. Setelah belajar di pondok pesantren saya baru sadar kenapa beliau berlaku demikian. Mungkin salah satu sebabnya pergaulan dan lingkungan di sekitar rumah yang sudah tidak begitu baik untuk anak seumuran saya. Beliau memilih untuk memasukkan saya pada sebuah sekolah yang terintegrasi pada sistem pondok pesantren. Saya yang masih memiliki pemikiran kolot memandang hal ini sebagai hal yang remeh.

Memang benar kata orang “orang tua lebih banyak makan asam garam dalam hidup”. Saya yang waktu itu masih berumur 15 tahun sebenarnya sudah meneropong jauh ke depan. Saya berfikir “ketika saya nanti sudah besar apakah ya , ketika saya hanya menjadi lulusan pesantren apakah saya nanti bisa mencapai kemapanan finansial yang nyaman, mapan dalam berkeluarga dan bekerja, saya pikir tidak.” Pengalaman hidup ketika itu mungkin membuat paradigma berfikir saya cenderung menilai semuanya dengan uang, sakit butuh uang, makan butuh uang, sekolah butuh uang, dan kerja menghasilkan uang. Hal demikian sebenarnya tidak diajarkan oleh orang tua saya, akan tetapi lingkunganlah yang mengajarkan demikian.

Tetangga saya kebetulan guru ngaji. Beliau adalah lulusan salah satu pesantren salafiyah di kota saya. Menurut pendapat saya, waktu itu kehidupan beliau tidak begitu baik. Beliau hanya mengandalkan sawah warisan orang tuanya untuk kehidupan sehari-hari dan beliau belum mampu memenuhi kebutuhan keuangannya secara optimal. Sejak kecil saya melihat hal yang demikian sehingga sampai terbawa di umur saya yang ke 15 tahun.

Belajar di Pondok Pesantren

Lanjut ke cerita, akhirnya dengan berat hati saya menuruti kehendak orang tua saya untuk masuk pesantren. Ya pesantren, dari sinilah hidup saya dimulai. Hidup menuju dewasa, menuju kematangan untuk menjadi seorang laki-laki bertanggung jawab, bermoral dan sekarang saya sadari sebagai awal mula jalan yang insyaallah bisa membawa saya dalam kehidupan yang lebih baik. Saya sempat berfikir dulu jika saja saya hanya mengikuti keinginan saya. Senangnya saya tanpa memperdulikan keinginan orang tua pasti jalan hidup saya tidak seperti ini.

Terakhir kali ketika liburan pesantren, ibu saya mengatakan bahwa beberapa teman saya ada yang masuk kantor polisi karena mencuri ayam padahal uangnya hanya untuk pergi ke warung, beli rokok, dan main bilyar. Dari situ ada sedikit rasa syukur saya karena bapak memaksa saya untuk masuk pesantren. Sempat membayangkan kalau saja saya tidak menuruti keinginan orang tua, mungkin saya sudah masuk penjara seperti teman-teman dan ketika nanti susah, saya akan ingat jika saja dulu saya mengikuti saran bapak, pasti hasilnya akan berbeda.

Saya melanjutkan sekolah di sebuah pesantren modern di luar kota kelahiran saya Tulungagung. Lingkungan ini serasa sangat baru bagi saya. Tapi saya bersyukur sekali pesantren ini tidak seperti pesantren yang pada umumnya ada di kota saya. Di sini pendidikan keagamaan dan umum terintegrasi sehingga begitu keluar dari sini kita bisa mendapat ijazah SMA dan ijazah pondok pesantren.

Jalan Berliku Meraih Beasiswa 

Ketika awal masuk pesantren, saya mendengar cerita tentang PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi). Awalnya saya tidak memikirkan tentang hal itu sama sekali karena rasa tidak percaya diri masih berlabuh dalam diri. Namun ada suatu kebanggaan tersendiri ketika kita bisa mewakili sekolah dan nama kita di sebut di depan adik-adik kelas karena suatu prestasi. Oleh sebab itu, dari sini muncul sedikit keinginanan saya untuk mengikuti program tersebut. Ustadzah saya (sebutan bagi pengajar di sana) selalu mengatakan dan memotivasi kita untuk dapat mengikuti program tersebut. Beliau selalu megatakan” kapan lagi sekolah gratis dan digaji.“

Saya berfikir inilah jalan untuk merubah hidup. Saya dapat melanjutkan belajar di perguruan tinggi dan tidak perlu minta uang lagi kepada orang tua. Banyak teman-teman saya mengutarakan niatnya untuk ikut program ini. Saya “minder” (tidak percaya diri) untuk mengakui keinginan itu. Belum ada keberanian untuk sekedar bercerita kepada orang lain tentang hal yang sebenarnya saya inginkan. Akibat rasa minder ini, waktu itu saya berfikir selepas lulus SMA (pondok pesantren), kemudian belajar untuk “ngabdi” di pondok. Mengabdi adalah membantu kegiatan/pekerjaan pondok tanpa bayaran. Seorang pengabdi rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran dengan ikhlas. Pondok pesantren memfasilitasi tempat tinggal, makan minum dan pengobatan ala kadarnya untuk pengabdi ini.

Pada waktu itu saya juga berpikir untuk dapat meneruskan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) lalu menjadi guru setelah lulus. Karena mempertimbangkan kondisi keuangan orang tua saya, tidak terpikir untuk masuk sebuah kampus negeri yang besar dan jauh dari orang tua yang tentunya membutuhkan uang yang tidak sedikit. Akhirnya saya bercerita tentang program PBSB kepada orang tua dan mereka menyarankan untuk mencobanya. Saya semakin termotivasi untuk dapat lolos seleksi minimal di tingkat sekolah/pesantren.

Ada kebanggaan tersendiri di sana. Jam bermain mulai berkurang, amalan-amalan kecil mulai diperbanyak, dan jam belajar mulai bertambah. Sering sekali saya dan teman-teman memaksakan untuk tidur di kelas agar bisa terbangun malam hari untuk belajar. Saya sering minta jatah untuk piket malam (semacam menjadi SATPAM). Hal ini saya lakukan agar bisa belajar sampai larut dan bisa bangun belakangan dibandingkan teman-teman.

Akhirnya keinginan saya terpenuhi. Bisa mewakili sekolah dan membawa nama pondok adalah suatu kebanggaan. Saya dan 18 teman yang lainnya ikut untuk seleksi PBSB di Surabaya. Semalam sebelum berangkat, saya sama sekali tidak bisa tidur, terbayang jika saya bisa lolos seleksi PBSB. Tentunya hal ini dapat mengangkat derajat keluarga kami sebagai warga pendatang agar tidak dianggap remeh dan mungkin bisa memperbaiki nasib ke depannya.

Alhamdulillah dalam pengumuman, nama saya masuk dalam 70 Santri Berprestasi yang bisa masuk Institut Pertanian Bogor dengan jalur Beasiswa Utusan Daerah Kementerian Agama. Rasa syukur saya ucapkan walaupun setengah tidak percaya. Ada beberapa hal yang saya tidak pernah percayai dan kemudian terjadi amalan-amalan kecil yang dikerjakan secara rutin akan jauh lebih berarti dibandingkan amalan-amalan besar yang dikerjakan tidak berlandaskan hati yang ikhlas.

Sejak masih duduk di kelas XI SMA, setiap malam saya sering berjalan-jalan keliling pesantren untuk menghilangkan rasa kantuk. Saya selalu menutup kran-kran air yang tidak tertutup dengan sempurna dan merapikan sandal di depan kantor SMA. Saya yang dulu merasa sering di-bully, berdoa agar suatu saat saya bisa membuat kagum teman-teman yang sering mem-bully. Alhamdulillah itu semua tercapai.

Pada dasarnya saya bukanlah seorang anak yang pintar, hafal dan faham rumus-rumus fisika, pandai menggambarkan isomer-isomer kimia, mengerti konsep matematika ataupun mudah mengingat pelajaran. Akan tetapi dengan keinginan yang kuat dan selalu berbuat baik terhadap orang lain bukan mustahil keinginan dan mimpi kita bisa tercapai. Mimpi yang besar membutuhkan daya dan upaya yang besar juga. Kita tidak bisa mengandalkan hanya diri sendiri selama masih punya Tuhan. Berbuat baik terhadap orang lain dan menjadi pribadi yang baik bisa menjadikan kita orang yang beruntung.

Muhammad Adib Mustofa

Mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!