Kampusgw.com

Menu

Deden Ridwan: Berbinar Gemilang di Industri Konten  

 

Industri konten belakangan makin booming saja. Pasalnya, ia identik dengan kreatifitas yang memang lagi digembar-gemborkan pemerintah. Maka tak hayal jika industri ini bisa dikatakan sebagai salah satu urat nadi industri kreatif.

Salah satu pelaku yang paling berbinar gemilang di industri konten tanah air ialah Muhammad Deden Ridwan. Pria kelahiran Sukabumi ini sejak menjadi mahasiswa telah menelurkan ratusan artikel yang menghiasi berbagai media massa dan jurnal. Buku dan produk-produk turunannya pun telah mendunia. Karena prestasi tersebut, jebolan Universitas Leiden Belanda ini dikenal luas sebagai konsultan media dan praktisi perbukuan papan atas nasional.

Karya-karya besutan Kang Deden Ridwan – sebagaimana beliau sering disapa – tak terhitung lagi jumlanya. Pria berdarah Sunda yang pernah menjadi CEO NouraBooks (Grup Mizan) dan Presiden Direktur Expose ini sering diundang sebagai nara sumber pada berbagai kegiatan di industri konten. Di luar itu, masih menyempatkan diri memimpin sebuah organisasi nirlaba, menjadi penggerak komunitas, hingga mengajar.

Pengalaman Kang Deden Ridwan di industri konten bisa disebut paripurna. Oleh karena itu, patut menjadi teladan bagi para kawula muda yang memiliki kesamaan passion. Bagaimana jatuh-bangun  beliau dari nol hingga menjadi “Kepala Suku” para ideator Falcon Publishing & Creative Academy? Apa saja tantangan yang dihadapinya? Simak wawancara penulis Kampusgw.com berikut ya.

 

Siapa nama lengkap Bapak?

Nama Lengkap saya adalah Muhammad Deden Ridwan. Bahkan asal-muasal nama lengkap saya, kalau ditelusuri sejarahnya cukup unik. Sebagai orang yang dibesarkan dalam  tradisi santri/pesantren, Ayah/Abah saya memberi nama saya dengan nama: Muhammad Ridwan Athoillah Shohibul Hikam. Karena Ayah saya saat itu pengagum berat sosok ulama sufi-filosof yang bernama Syaikh Ibn Athoillah pengarang kitab Al-Hikam. Kemudian sebagai orang Sunda dan santri saya kerap dipanggil Deden. Pas mau masuk sekolah dasar, karena namanya kepanjangan, ibu saya mendaftarkannya dengan nama: Deden Ridwan. Jadi, nama itu hasil “ijtihad” ibu saya, meski ayah/abah sempat marah. Nama itulah yang melekat di ijazah sekolah hingga kini.

 

Apakah kesibukan Bapak sehari-hari?

Ya, rutinitas bekerja. Dari meeting ke meeting. Diawali dengan bangun pagi rutin setiap hari pukul 3.00 wib. Diawali shalat malam, membaca buku atau menulis. Lalu ketika waktu shubuh tiba, shalat subuh berjamaah di masjid. Setelah itu antar anak ke sekolah. Kembali ke rumah, baca-baca koran/buku ringan/santai dan buka internet, kemudian  pada pukul 8.30 WIB berangkat ke kantor. Kalau tidak ada meeting sore/malam, pukul 21.00 wib sudah tiba di rumah. Tapi seringkali/hampir setiap hari sampai rumah rata-rata pukul 22.00 wib.

 

Apa cita-cita Bapak di masa kecil?

Mungkin karena tradisi pesantren begitu kuat, cita-cita saya waktu kecil adalah ingin menjadi seorang ulama-intelektual yang mengajar santri-santrinya dengan penuh antusias dan ikhlas. Ya, kalau sekarang menjadi dosen di kampus kali.. hehehe..

 

Sebenarnya, apa panggilan hidup Bapak?

Ya, itu tadi menulis, mengajar (berbagi pengetahuan), dan sosial. Tiga faktor itu sebenarnya tetap melekat hingga kini ketika saya bekerja di industri perbukuan.

 

Apakah Bapak pernah “mencicipi” profesi selain di dunia kreatif sebelumnya?

Ya. Saya pernah bekerja di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), sebuah LSM kenamaan di tahun 90-an pimpinan Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, dengan posisi akhir sebagai Kepala Program Penelitian. Sempat menjadi reporter sebuah harian di Jakarta (hanya beberapa bulan saja). Sempat pula menjadi koresponden Majalah Gatra untuk wilayah Belanda dan sekiatarnya ketika saya belajar di Universitas Leiden.

 

Apa suka duka selaku profesonal perbukuan?

Wow, yang jelas banyak sukanya dong. Banyak baca literatur/buku, melek informasi, berusaha mengikuti tren yang terjadi di ruang publik, banyak jaringan, banyak teman (dengan pelbagai karakter dan profesi), ikut terlibat melahirkan/menciptakan para penulis/regenerasi penulis  &  pegiat-pegiat buku andal, ikut terlibat menyadarkan publik tentang pentingnya membaca/sadar literasi, dll. Namun suka/kebahagiaan tertinggi itu adalah tatkala sebuah ide/gagasan yang saya usulkan menginsprasi/melahirkan sebuah buku lalu, bukunya menjadi public-reading atau best-seller di ruang publik; pun penulisnya mendadak jadi selebriti. Fenomena novel Sepatu Dahlan yang kemudian difilmkan  (saya terlibat di dalamnya sebagai produser)  adalah contohnya. Kalau ditanya dukanya, apa ya? Hehehe.. Yang jelas “duka” itu muncul tatkala ide/gagasan atau naskah/cerita yang saya usulkan terbit ternyata gagal mendapat sambutan publik. Rasa “duka” lain adalah ketika stok buku di gudang menumpuk atau ketemu penulis yang “ngeyel”.. hehehe.. Tapi itu riak-riak kecil saja. Sukanya jauh lebih membekas. Karena saya memilih jalur profesi ini dengan sepenuh hati/bahagia.

 

Apakah pengalaman paling mengesankan sejauh ini sebagai profesional perbukuan?

Ya, seperti disinggung di atas, ketika gagasan/ide sebuah buku/cerita meledak di pasar lalu bukunya difilmkan. Pengalaman lain yang mengesankan adalah saat diundang sebagai nara sumber di kampus-kampus dan komunitas, di dalam maupun luar negeri, berbicara soal gerakan literasi dan writer-preneurship; juga ketika bisa bertemu penulis-penulis besar dunia, khususnya dunia Timur Tengah, berdiskusi dan share ideas dengan mereka tentang riuh-rendah dunia perbukuaan dan pengalaman masing-masing.

 

Apa saja kesibukan Bapak selain di dunia perbukuan? Apakah aktif di bidang lain?

Ya, sempat mengajar di Islamic Collage for Advanced Studies (ICAS) London Cabang Jakarta dan di Sekolah Tinggi Madinatul Ilmi, Jakarta. Tapi beberapa tahun terakhir sudah tidak mengajar lagi di kedua kampus tersebut karena kesibukan. Kesibukan lain, ya di bidang sosial. Saya kebetulan diberi amanah menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Terpadu Al-Amin, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dengan menyelenggarakan layananan/sistem sekolah gratis bagi kaum tak mampu/dhuafa. Pusat kegiatan yayasan tersebut terkonsentrasi di Kampung Cikadu, Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

 

Dengan melihat usia Bapak sekarang ini, Anda telah mengantongi berbagai prestasi yang membanggakan. Sebenarnya berapa jam rata-rata Anda istirahat (tidur) setiap harinya?

Ya, dulu tidur cuma 3 jam saja. Karena saya sering sekali begadang sampai subuh menyelesaikan sebuah tulisan deadline (karena saya juga kebetulan berprofesi sebagai konsultan dan ghostwriter). Tapi sekarang rata-rata tidur 5-6 jam saja setiap harinya. Meskipun disarankan oleh dokter untuk tidur minimal 8 jam atau lebih karena ada gangguan lambung. Tapi agak susah terpenuhi.. J

 

Apa kegiatan Anda di waktu luang?

Bermain dengan anak-anak dan menonton/jalan-jalan kuliner bersama keluarga serta menemui Abah di rumah saudara (yang kebetulan sudah berusia 90 tahun). Mengurus yayasan sosial dan menemui para aktivis mahasiswa yang acapkali datang ke rumah sekadar untuk mengobrol, menumpang baca di perpustakaan pribadi, dan berdiskusi. Sesekali mereka meminta saya untuk menjadi nara sumber dalam traning-training jurnalistik dan kepenulisan. Mengasyikkan!

 

Kalau boleh tahu, apa sebenarnya passion Bapak?

Sebenarnya sih akademisi/peneliti. Teman-teman pun banyak bilang begitu.. hehehe.. Tapi kemudian “tersesat” di jalan yang benar: menjadi pegiat konten dan profesional perbukuan/book industry company. Sebenarnya tidak melenceng jauh sih, karena baik dunia akademisi maupun konten/perbukuan basisnya sama: intelektualitas dan kreativitas; dunia tulis-menulis dan literasi. Cuma penekanannya saja yang berbeda. Di dunia kreatif itu penekanannya lebih ke sisi bisnisnya. Dan, hemat saya, dunia “bisnis-intelektual-kreatif” itu selain menuntut kreativitas tinggi juga lebih kompleks ketimbang dunia akademik. Tapi profesi apa pun kalau ditekuni secara total dan didasari oleh niat “memuliakan manusia”—bukan sekadar bisnis—adalah mulia/terpuji.

 

Menurut Bapak, seorang profesional perbukuan yang baik itu seperti apa?

Ya, tentu yang kreatif, kaya gagasan (ideator), penuh inisiatif/terobosan, peka terhadap perubahan sosial dan jeli membaca tren zaman, gaul/berbaur, lincah/dinamis, bermental aktivis, kooperatif, dan mengerti apa yang terjadi di ruang publik/pasar/kebutuhan pasar. Semua itu dasarnya adalah rasa antusiasme (bergairah untuk selalu maju) dan kemerdekaan ide. Ya, seorang profesional perbukuan itu harus selalu shoping ideas, marketing ideas. Karena industri buku itu adalah pabrik konten atau the house of creator atau semacam talent house, sebuah tempat di mana ide-ide/cerita-cerita segar dikembangkan menjadi karya yang terbaik. Bahkan seorang profesional perbukuan itu pada praktiknya menjadi semacam partner-kreatif bagi para penulis dan pegiat buku (editor/ideator) untuk menghasilkan karya yang terbaik dan mengembangkan profesinya. Bagi saya, industri perbukuan itu bukan semata sebagai peristiwa ekonomi, tapi juga peristiwa budaya.

 

Menurut Bapak, bagaimana tren industri perbukuan di tanah air?

Tren itu bisa dilihat dari dua sisi: pembaca dan industri. Keduanya tentu saling erat terkait. Dari sisi pembacanya, bacaan yang diminati para generasi millennial saat ini bersifat interaktif, terkait dengan kehidupan sehari-hari, menyentuh emosi, menginspirasi, meyakinkan, mengasyikkan, dan menjawab problem hidup mereka sehari-hari; bukan bacaan yang bersifat broadcast dan abstrak. Tentu saja untuk bisa membangun benak pembaca tersebut kemasan atau strategi konten menjadi kunci. Selain bacaannya mengalir, naratif dan mendalam (something new in depths), juga tampilan visualnya chic dan menggoda. Di sinilah letaknya karya fiksi-populer acapkali jauh lebih menarik perhatian pembaca masa kini.

 

Dari sisi industrinya, tren ke depan adalah era digital. Di sini ada dua arus besar: aliran konten dan aliran platform. Industri media itu basis fundamentalnya adalah konten. Ya, kreasi konten itu otomatis menjadi kunci. Kemudian hasil kreasi konten itu bisa ditampilkan dalam pelbagai bentuk (platform) media. Ya, bisa bentuk buku (buku pun bisa cetak atau e-book, dll) atau film, drama musikal, dll. Semua itu core business-nya, sekali lagi, konten/cerita. Oleh karena itu, hemat saya, istilah industri perbukuan itu kini sudah tidak relevan lagi. Yang tepat adalah industri konten. Book company-pun adalah pabrik konten. Yang membedakan satu sama lainnya, ya hanya platform-nya saja. Inilah yang disebut sebagai era konvergensi media yang menandai lahirnya sebuah “revolusi digital”. Indonesia menjadi bagian arus “revolusi digital” itu.

 

Apakah karakter yang harus dimiliki oleh seorang pekerja kreatif menurut Bapak?

Secara umum tentu sama dengan pelaku-pelaku bisnis lain: pantang menyerah (berani sukses, berani gagal), pemberani (berani melakukan terobosan dan melawan mainstream). Namun karakter khusus yang harus dimiliki seorang pekerja kreatif adalah harus punya cita-rasa yang kuat, gaul banget, menyelami budaya pop, dan dekat dengan anak-anak muda (net-generation). Bagi seorang pekerja kreatif, feel jauh lebih penting ketimbang think; context kadang lebih menggetarkan ketimbang content.

 

Apa arti kesuksesan bagi Bapak sebagai seorang profesional perbukuan?

Ya, sukses meraih jenjang tertinggi karir profesional (apalagi saya ini benar-benar berangkat dari bawah) dan sukses melahirkan penulis-penulis/karya-karya bestseller dan public-reading; melahirkan bacaan-bacaan terbaik/bermutu yang bisa menggetarkan jiwa pembacanya.

 

Apa arti kebahagiaan di mata Bapak sebagai seorang profesional perbukuan?

Ya, bagi saya, kebahagiaan itu adalah bagaimana saya memberikan makna spiritual dan dimensi syukur atas kesuksesan yang saya peroleh selama ini. Kebahagiaan bersifat batiniah. Bersyukur adalah kunci kebahagiaan. Dengan begitu, saya akan terus mengembangkan diri saya dan melahirkan karya-karya terbaik tanpa henti supaya indeks kebahagiaan saya semakin membaik. Bagi seorang profesional perbukuan, kebahagiaan juga muncul tatkala karya-karya yang diterbitkan bisa mengubah perilaku pembaca ke arah kehidupan yang lebih baik; bermanfaat untuk orang banyak.

 

Apa pesan-pesan Bapak bagi para generasi muda yang ingin menjadi profesional perbukuan?

Ya, profesi apa pun di dunia ini, termasuk profesional perbukuan, mesti digeluti secara total. Rasa antuasisme dan kemerdekaan itu adalah kuncinya. Selami dunia yang dinamis ini beserta artefak-artefaknya secara positif, kritis, kreatif. Bekali dirimu dengan knowledge dan skill di atas rata-rata karena kamu akan hidup di zaman yang jauh lebih gila/kompleks. Belajar. Belajar. Belajar. Kerja. Kerja. Kerja. Itu nafasnya. Tapi jangan lupa: selama proses belajar dan kerja tersebut niatkan semua itu sebagai bagian dari ibadah untuk memuliakan sesama manusia. Itulah ruhnya. Dalam istilah David Brooks, harus seimbang antara Adam 1 tentang pengejaran sukses dan menguasasi dunia (eksternal Adam) dan Adam 2 tentang moral courage dan melayani dunia (internal Adam). Ya, dalam perjalananya, keduanya sering saling bertabrakan; padahal seharusnya saling melengkapi.[]

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!