Kampusgw.com

Menu

“Pelajaran Hidup” Arek Suroboyo di Negeri Gandhi

Halo sahabat Kampusgw.com. Saya Herdiani Hidayanti dari kota Surabaya, Jawa Timur. Keinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri sudah ada dalam diri saya sejak tahun kedua di SMA. Kala itu, salah satu guru bahasa Inggris saya mengajarkan berbagai formula tenses yang rumit, yang saya sadar dari tahun itulah saya makin mendalaminya. Keinginan untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar di luar negeri juga sudah ada sejak SMA namun entah kenapa saya selalu terlambat mendapatkan informasi.

Di sisi lain, keinginan untuk melihat dunia luar sudah ada dari diri saya sejak SMP. Sejak di tahun pertama, seorang teman mengenalkan saya dengan Harry Potter dan keinginan ke Inggris muncul sejak saat itu. Karena belajar bahasa bukan favorit saya, nilai mata pelajaran bahasa Inggris di SD tidak begitu menggembirakan dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Namun sepertinya sejak menyukai Harry Potter dan tumbuh bersama seri filmnya, membuat saya mulai “terbiasa” dengan bahasa Inggris dan kemudian menyukainya. Kalau kata orang Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino” yang kira-kira maknanya ialah menyukai sesuatu dari kebiasaan.

Belajar Menguasai Bahasa Inggris

Maka ketika lulus SMA dan kemampuan bahasa Inggris semakin membaik, saya pun kemudian memutuskan untuk mengambil kursus bahasa Inggris seminggu dua kali agar saya semakin terbiasa dengan lingkungan berbahasa Inggris dan dapat terus meningkatkannya. Sampai akhirnya di tahun 2009 dan 2010, berbagai seleksi saya ikuti untuk mengikuti program pertukaran pemuda baik dari kampus maupun dari luar kampus, hasilnya masih nihil. Nol. Susah. Itu kesimpulan saya. TOEFL yang masih belum sampai 550, ditambah belum ada pengalaman ke luar negeri dalam CV saya sebelumnya. Saya memahami ini, karena beberapa teman saya yang diterima dalam program semacam ini, di samping TOEFL mereka lebih dari 550, sebagian besar dari mereka pernah tinggal di luar negeri atau mengikuti program serupa sebelumnya. Maka, di tengah kekecewaan itu saya tidak menyerah. Saya tetap melanjutkan les bahasa Inggris saya dan kemudian di awal tahun 2011, saya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan organisasi mahasiswa terbesar di dunia, yang saat ini memiliki koneksi hingga 124 negara, AIESEC. Lebih tepatnya AIESEC di Surabaya. Dari sinilah kemudian saya memulai pengalaman internasional saya. Sebuah perjalanan awal yang kemudian, dari tahun 2011 hingga 2015, membawa saya ke 7 acara internasional di 6 negara dan 2 benua yang berbeda. Sebuah perjalanan, yang saat itu belum saya sadari, akan merubah hidup saya.

Global Community Development Program – Human Rights Project di India

Butuh waktu berminggu-minggu untuk meyakinkan ayah saya agar mengijinkan saya pergi mengikuti program ini. Rencana awal saya untuk mengikuti salah satu proyek di Tiongkok yang kemudian saya ubah di India, makin membuat ayah saya was-was. Saya anak perempuan terakhir dalam keluarga dan bisa dibilang paling manja dari pada kakak-kakak saya yang lain, tapi juga punya banyak mau, ini-itu, dibandingkan kakak-kakak saya yang lain. Kakak-kakak saya yang lain pun tidak pernah mengikuti kegiatan ini sebelumnya, sehingga semakin susah untuk meyakinkan kedua orang tua saya, karena belum ada contohnya.

Apalagi dalam program ini saya harus membayar semua biaya saya sendiri, dari tiket pesawat, visa, dan biaya hidup selama di India. Karena itulah saya memilih India, agar tidak terlalu mahal. Berbeda dengan teman-teman saya lainnya yang berani mengambil Eropa untuk tujuan mereka karena memiliki uang, saya tidak. Saat itu di tahun 2011, saya terdaftar sebagai baik Mahasiswa jurusan D3 Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) angkatan 2009, juga di Fakultas Hukum angkatan 2010 Universitas Airlangga.

Di ITS, saya mendapatkan beasiswa PPA-BBM dan dalam satu tahun saat itu total uang yang saya dapatkan adalah Rp 3, 6 juta. Uang tersebut tidak saya pakai, namun sengaja saya tabung untuk mengikuti acara-acara seperti ini. Saya pun berbicara kepada Ayah saya, bahwa saya memiliki uang saya sendiri sebanyak Rp 3,6juta di tabungan dan saya akan berjanji mencari sponsor untuk kegiatan ini. Yang saya butuhkan adalah dukungan dan doanya agar saya dapat sponsor. Kemudian saya tambahkan pula bahwa bila memang saya tidak mendapatkan sponsor, saya minta kedua orang tua saya untuk membayar biaya program ini untuk saya.

Tentu saja orang tua saya keberatan. Dapat dari mana uangnya? Kami bukan keluarga kaya. Namun saya berjanji kepada Ayah, segera setelah saya menyelesaikan kuliah akan mengganti dengan gaji saya. Baru seminggu sebelum keberangkatan sebagian besar uang dari sponsor dan bantuan dari kampus saya terima. Perasaan yang awalnya “cenat-cenut” langsung plong. Bersyukur karena akhirnya diberikan kelancaran dalam prosesnya.

Proyek di India juga benar-benar penuh dengan arti untuk saya. Selama di kota Jaipur, saya tinggal bersama mahasiswa-mahasiswi asing dari berbagai negara dan belajar banyak dari mereka. Ternyata rasanya asyik, berteman dengan teman-teman dari Spanyol, Perancis, Moroko, Mesir, Amerika Serikat, Vietnam, Singapura, Jepang, Kyrgyztan dan masih banyak lagi. Teman sekamar saya di Jaipur adalah Melissa, berkebangsaan Singapura dan berteman baik dengan saya hingga saat ini.

Bersyukur Terlahir di Surabaya

Saat proyek sosial saya berjalan, saya bekerja dengan teman-teman dari Kyrgyztan dan Jepang dan saat melakukan projek inilah saya merasa benar-benar bersyukur karena saya terlahir di kota Surabaya dan merasakan “mudah”nya akses untuk segala hal di kota. Di desa pedalaman bernama Pachkodia inilah saya melihat, bagaimana kerasnya perjuangan hidup di pedalaman, yang tentu saja tidak jauh dari keadaan di pedalaman Indonesia. Berjalan tanpa alas kaki, ke sekolah berpakaian ala kadarnya, duduk di kelas beralaskan tikar juga harus belajar tanpa lampu.

Hati saya juga ikut terenyuh, ketika kami bersama-sama pergi ke desa “anak cacat”. Orang lokal menyebutnya demikian karena banyaknya kasus anak cacat di desa ini. Setelah berdiskusi bersama orang-orang dari NGO tempat saya melakukan volunteer ini, dari situlah saya sadar bahwa akar permasalahannya adalah karena anak-anak perempuan di desa ini dinikahkan dari dini. Sejak usia 12 tahun, mereka dinikahkan dengan laki-laki yang sering sekali usianya lebih dari dua kali lipat dari umur mereka. Apa yang bisa diharapkan dari anak berumur 12 tahun saat mereka menjadi istri? Jiwa mereka masih jiwa bermain, namun sudah diberikan tanggung jawab untuk bekerja sekaligus bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Alat reproduksi mereka yang belum siap, membuat mereka tertekan saat melakukan hubungan seks. Tak jarang, karena bandelnya mereka sebagai anak-anak keluar, suami mereka yang jauh lebih tua ini melakukan kekerasan kepada mereka. Dan tidak lama setelah pernikahan, mereka dihadapkan pada kekerasan dan kehamilan. Singkatnya, anak yang dilahirkan kemudian menjadi cacat.

Gram Ketna Cendra, NGO yang bekerja sama dengan AIESEC di Jaipur, India saat itu, mempunyai misi untuk memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada desa-desa terpencil untuk mengurangi kasus ini. Beberapa dari proyek sosial mereka telah didanai oleh PBB dan Founder yang lain baik dari swasta maupun pemerintah, baik dalam maupun luar negeri. Mereka menyalurkan guru yang bersedia mengajar dengan gaji rendah, mengumpulkan wanita-wanita untuk memberikan semangat agar mereka dapat membuat sebuah grup bernama Self-Women-Group yang bertujuan untuk membantu dan menyemangati satu sama lain, mungkin bila dibandingkan dengan di Indonesia, Self-Women-Group ini seperti semacam arisan ibu-ibu PKK, mereka juga mencari donatur baik dari dalam maupun luar negeri, untuk membantu memberikan kehidupan yang lebih layak dan lebih baik kepada anak-anak asuh mereka. Uang ini kemudian akan diberikan dalam bentuk buku dan alat-alat tulis, serta seragam sekolah, juga perbaikan atau pengadaan ruang kelas di desa mereka.

Pelajaran Hidup di Negeri Gandhi: India

Kami para volunteer dari luar negeri saat itu paham, bahwa tugas kami di sini adalah untuk menginspirasi. Utamanya menginspirasi para perempuan, agar mereka memahami hak-hak mereka. Bahwa mereka berhak untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak dan bersekolah hingga tinggi. Kami meyakinkan mereka, bahwa kesempatan beasiswa itu ada untuk mereka yang mau meraihnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Mereka hanya perlu percaya bahwa mereka bisa melakukannya. Juga kepada perempuan-perempuan dewasa, kami meyakinkan mereka bahwa mereka berhak atas kehidupan pernikahan yang harmonis tanpa takut menjadi korban kekerasan. Bahwa seburuk apa pun masakan mereka atau kesalahan apapun yang mereka lakukan, mereka tidak berhak untuk dipukul. Bahwa mereka berhak untuk merasakan aman berada di keluarga mereka. Juga untuk anak-anak mereka. Yang tentu saja, semua perlawanan dan perlakuan itu harus dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai kebudayaan yang hidup dalam masyarakat adat mereka.

Saat makan malam, kami para volunteer, sering berdiskusi tentang betapa beruntungnya kehidupan yang kami punya. Betapa kami diberikan kenikmatan atas mudahnya akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak, rasa aman dalam keluarga dan merasa begitu dicintai oleh orang-orang yang ada di sekitar kami. Saya pun sadar, bahwa saya ditempatkan dalam proyek ini agar saya bisa bersyukur, agar saya dapat melakukan yang terbaik dari setiap hal-hal yang telah diamanahkan kepada saya. Bisa kuliah di dua universitas ternama di Surabaya merupakan berkah tersendiri, ditambah dengan beasiswa dan kesempatan mengikuti acara keluar negeri yang saya dapatkan, tentunya tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Susah dan sedih selama di India juga tidak saya bagi dengan keluarga, karena memang tidak ada hal bahaya yang harus dikhawatirkan dan juga saya tidak ingin membuat mereka khawatir berlebihan dengan saya. Saya toh bisa menjaga diri.

India, sebuah perjalanan yang kemudian mengubah hidup saya. Membuat saya menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan juga berjanji untuk melakukan yang terbaik dan lebih baik setiap harinya. Karena perjalanan ini pulalah, saya bertekad untuk melakukan yang terbaik. Kasus seperti di pedalaman India toh masih banyak terjadi di Indonesia. Dan sejak saat itu pulalah saya bertekad, bila anak muda dari pedalaman seperti Andrea Hirata saja bisa menaklukkan Sorbonne University, maka saya harus bisa melakukan yang lebih baik. Maka, agenda untuk melakukan studi hingga S3 di luar negeri, tentu ada dalam rencana saya ke depannya.

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!