Kampusgw.com

Menu

Penabur Inspirasi dari Pulau Sumba

If you really want something, all the universe conspire to help you achieve the goals. (Paulo Coleho)

beverly2Kalimat inspiratif dari buku “The Alchemist” karya Paulo Coelho, penulis novel ternama asal Brazil ini sungguh menggambarkan visi dan misi saya sebagai gadis Sumba, Nusa Tenggara Timur yang berjuang meraih mimpi. Sebelum berjuang mengejar mimpi, saya menyadari bahwa berjuang tanpa mengenal diri adalah sebuah kekonyolan meski sebagai manusia kita harus terus berproses mengenal diri.

Terlahir dari sebuah keluarga sederhana sebagai putri pertama dari 4 bersaudara membuat saya tumbuh dengan tanggung jawab terberi untuk menjadi teladan bagi adik-adik. Sempurna tentu tidak saya kejar, tapi menjadi kebanggaan adik-adik dan orang tua, itu harapan yang terus saya perjuangkan hingga detik ini.

Meneladani Kedua Orang Tua

Saya bersyukur lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang saling menyayangi dan demokratis. Setidaknya, saya tidak perlu meminta untuk didengarkan atau diajari karena Ayah dan Ibu terpanggil untuk mendengarkan dan membimbing saya dan adik-adik. Kami bebas berpendapat dan menyatakan yang kami inginkan. Kesempatan ‘berpetualang dengan otak dan hati’ inilah yang memupuk rasa percaya diri saya sejak kecil. Ayah selalu menekankan pentingnya keihklasan dan kerendahan hati sementara Ibu selalu mengajarkan kemandirian dan hati untuk menolong sesama meski kita berkekurangan.

Saya ingat sebuah peristiwa kecil yang istimewa dan menjadi contoh dari Ibu yang tak akan saya lupakan. Kala itu seorang wanita paruh baya menjajakan sayur ke rumah. Entah mengapa, sang penjual sayur dan Ibu terlibat percakapan yang cukup panjang. Setelah rehat sejenak, Ibu berlari kecil ke dapur dan menuangkan semua beras yang tersisa ke dalam kantong bersama beberapa bungkus kopi dan gula yang masih tersisa. Setelah merasa cukup, Ibu lalu menuju ke halaman rumah dan memberikan kantong berisi beras, kopi, dan gula itu kepada sang penjual sayur. Lalu, ia pun pergi dengan mengucapkan terima kasih sambil memikul bakul sayur kesayangannya.

Saya yang melihat kejadian itu sempat tertegun dan sedikit berontak, mengapa Ibu memberikan seluruh beras yang tersisa kepada sang penjual sayur sementara tak ada lagi persiapan beras di rumah untuk makan siang. Sedikit kesal, saya menyampaikan kegusaran itu kepada Ibu. Lalu dengan sabar beliau berkata, “Rabu (dari Rambu sapaan adat untuk anak perempuan Sumba), kita memang susah tapi dia lebih susah. Kita masih bisa beli lagi tapi dia harus jalan kaki sepanjang hari selama berbulan-bulan untuk membeli beras. Bayangkan kalau dia pulang dan tidak ada beras untuk anak-anaknya makan.” Saya terhenyak dengan nasihat kecil ini.

Barulah saya mengerti bahwa pertemuan tadi bukan hanya pertemuan antara pembeli dan penjual tapi pertemuan antara dua orang Ibu yang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Peristiwa lain lagi ketika suatu pagi saat baru bangun tidur, saya melihat Ayah membawa setumpuk sayur dari pasar padahal persedian sayur masih sangat banyak karena Ibu baru saja ke pasar sehari sebelumnya. Siapa yang akan makan tumpukan sayur itu? Sambil meneguk kopi hitamnya, Ayah lalu bercerita bahwa pagi-pagi buta ia ke pasar untuk membeli makanan ternak namun saat melihat seorang wanita tua yang rambutnya telah memutih dan terseok-seok membawa sayur dagangannya. Ia tak tega. Ia memutuskan untuk membeli semua sayur sang wanita tua itu meski tahu bahwa masih ada persedian di rumah. Ya, ini bukan soal membutuhkan sayur tapi bagaimana membantu mereka yang membutuhkan. Teladan ini membekas dalam keseharian saya hingga detik ini. Terima kasih Tuhan karena menghadiahkan saya orangtua yang luar biasa.

Merantau Sejak Belia

Setelah menamatkan pendidikan di SD Katolik ST. Yoseph 3 Kupang, saya memutuskan melanjutkan pendidikan ke SLTP Katolik Hati Tersuci Maria Halilulik, Atambua. Inilah keputusan besar pertama yang saya buat dan disetujui orangtua. Di tempat inilah saya belajar untuk tinggal jauh dari orangtua dan mengatur diri sendiri. Belajar untuk berproses memutuskan yang terbaik untuk hidup dan membangun karakter diri. Saya tidak hanya belajar mandiri, tapi saya juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan arti hidup sebenarnya. Hidup yang tidak hanya soal menikmati tapi memaknai setiap peristiwa hidup sebagai hadiah yang istimewa dari yang Yang Maha Kuasa.

Tinggal bersama puluhan siswa di asrama mengasah hati saya untuk belajar memahami karakter lain dalam hidup dan bermain dengan cara mereka berpikir. Sebuah pengalaman hidup yang tak pernah kusesali bahkan ingin kuulang kembali. Pengalaman bagaimana saya menemukan semangat kebersamaan dan toleransi yang meski sering dihantam gelombang benci, dengki, dan iri hati, namun tetap selalu memenangkan hati nurani yang memaafkan dan terlampau rendah hati untuk dengan mudahnya membuang ego.

Di tempat ini pulalah benih kecintaan saya akan seni dan menulis tumbuh. Saya masih sangat ingat sosok guru terbaik Bapak Kandidus Seran, BA. Guru Bahasa Indonesia terbaik yang pernah saya miliki. Pak Kandidus yang juga fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Latin menjadi guru pertama yang melihat potensi yang saya miliki dan memotivasi saya untuk terus mengasah kemampuan menulis. Pak Kandidus jugalah yang pertama kali memberi saya kesempatan untuk menulis pidato pertama saya dan menyampaikannya bagi ratusan murid dan orangtua saat pesta kelulusan di SMPK HTM Halilulik. Saya tidak akan pernah melupakan jasanya mengajarkan saya mengenal Bahasa Indonesia lebih dari sekedar alat komunikasi tapi seni yang terberi.

Sayang, Pak Kandidus terlampau cepat meninggalkan dunia pendidikan yang sangat Ia cintai tanpa mempunyai kesempatan melihat saya dan murid-murid lainnya berhasil memahat secuil kesuksesan secara bertahap. Seingat saya, beliau juga pernah bercerita tentang perjuangannya untuk menerbitkan buku kumpulan puisinya dengan menabung dari gajinya yang tak bisa dibilang banyak. Namun, demi kecintaannya akan seni dan bahasa ia rela berbagi dari kekurangnnya. Entah buku itu sudah terbit atau belum. Saya berusaha mencarinya, tapi belum menemukannya sampai saat ini. Saya berharap bisa menemukan bukunya ataukah draf puisi dari keluarganya.

Masih jelas teringat saat mendapati kabar akan kematian beliau, dengan segala rasa bersalah karena tak pernah tahu kesulitan dan perjuangan almarhum menghadapi sakitnya, saya rela menempuh 10 jam perjalanan dari Kupang-Atambua-Besikama hanya untuk sekedar menyampaikan penghormatan terakhir dan terima kasih saya yang luar biasa. Almarhum dimakamkan dalam kesederhanaan meski bagi saya dan teman-teman seangkatan beliau adalah guru besar yang tak akan kami lupakan. Demikianlah, sebuah kisah yang membuat saya sangat menghargai jasa para guru, dosen, dan instruktur yang pernah saya miliki.

Saya juga masih ingat, pertama kali membacakan puisi-puisi yang saya tulis diiringi alunan suara gitar Romo Sipri Senda, Pr yang kala itu masih sebagai Frater dan membimbing kami dalam sebuah ret-ret. Saya masih ingat sebuah pesan dan contoh singkat yang Romo Sipri berikan saat ret-ret di gedung gereja Katolik Halilulik. “Hidup kita itu seperti gelas. Bila gelas itu ditutup maka meskipun kita berusaha menuang air di dalamnya namun air tidak akan memenuhi ruang dalam gelas. Namun, bila gelas itu tidak ditutup maka air akan lebih mudah memenuhi ruang kosong dalam gelas. Seperti halnya otak, hati, dan hidup kita. Bila kita tak membuka hati dan otak kita kita untuk ilmu pengetahuan dan pengalaman maka hidup kita akan kering seperti gelas yang kosong,” ungkap Frater Sipri Senda, Pr. Kala itu.

Meneladani Para Guru

Merasa nyaman menjalani kehidupan di asrama, setelah menamatkan pendidikan di SLTPK HTM Halilulik saya melanjutkan pendidikan di SMAK Syuradikara Ende yang terletak di pulau Flores NTT. Saya harus meninggalkan keluarga lagi selama 3 tahun untuk sebuah proses demi masa depan yang lebih baik. Di almamater inilah, saya benar-benar ditempa menjadi pribadi yang mandiri, memiliki daya juang tinggi, berpacu untuk berprestasi, dan tak lupa mengasah hati, mengasah otak. Di dua almamater inilah, saya menemukan guru-guru luar biasa yang saya sebut “Profesor tanpa Gelar”. Merekalah yang telah sekian banyak membantu saya menikmati dan memaknai hidup dalam keberkahan pengetahuan dan pengalaman. Merekalah yang merupakan tempat saya menimba ilmu hidup dan ilmu hati.

Masih teringat jelas kecintaan saya pada dunia tulis menulis sudah dimulai sejak SD, dan semakin tertempa saat di Syuradikara. Saya banyak belajar dari para guru, suster, dan pastor yang menjadi pembina saya di SMAK Syuradikara. Saya senang belajar dari siapapun termasuk belajar dari seorang tukang kebun di SMAK Syuradikara yang selalu datang paling pagi, pulang paling akhir, dan bahagia dengan pekerjaannya. Saya masih ingat bagaimana suatu siang saya datang menemuinya untuk bercerita dan sedikit mengenal keseharian beliau. Dalam percakapan itu saya juga memintanya mendoakan saya yang akan menghadapi ujian nasional dan. Saya iri karena hatinya kaya akan kerendahan hati dan kesetiaan dalam kesederhanaanya. Saya belajar untuk setia dengan tindakan kecil yang mungkin tak berharga di mata manusia tapi mulia di mata Tuhan. Saya bersyukur mendapati pengalaman sederhana ini. Kecintaan saya untuk tak pernah lelah berproses membuat saya bertekad untuk mencari ilmu dan pengalaman sebanyak mungkin. 3 Tahun berproses di SMA membuat saya menemukan kecintaan saya di bidang jurnalistik.

Kuliah, Bekerja & Pengembangan Diri

Tamat SMAK Syuradikara, saya melanjutkan pendidikan di Universitas Nusa Cendana Kupang. Sejak mulai kuliah, saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk mengejar passion saya di bidang jurnalistik.

Sejak 2007, saya mulai bekerja sebagai penyiar radio. Kala itu, saya sengaja tidak mengambil pekerjaan di radio yang sudah matang dalam konsep dan terkenal. Saya ingin berproses dari nol dan ikut membangun sebuah media baru. Saya ingin merasakan saat-saat menyiar tanpa pendengar, tanpa deringan telpon atau SMS dari pendengar hingga tak sanggup menangani banyaknya pendengar, telpon dan sms yang masuk saat sebuah program dibawakan. Saya senang bergerilya dengan percakapan tentang konsep program dan bagaimana mengetahui kemauan pendengar. Semua saya jalani dengan sabar meski kadang letih atau merasa mungkin saya harus mundur dan mencari pekerjaan yang jelas lebih mudah dan berpenghasilan besar.

Namun, hati tak bisa bohong, semakin saya berusaha melepas pekerjaan dari bidang jurnalistik, saya justru makin mencintainya. Saya mencoba merasakan menjadi penyiar di waktu pagi subuh hingga program dini hari. Saya belajar otodidak dari pengalaman bersama rekan kerja dan pimpinan media. Saya ingin tahu kemampuan saya membawakan jenis acara dalam waktu yang berbeda. Saya beryukur bahwa tidak ada kesia-siaan saat kita sungguh bekerja keras.

Dalam umur yang masih terbilang muda, saya diberi kesempatan untuk dipercaya menjadi pengarah program radio, pembawa berita dan dialog salah satu TV lokal. Berharap bisa mendalami dunia jurnalistik, tahun 2011 saya bergabung dengan koran baru Victory News Media yang berada dalam naungan Media Group bersama Media Indonesia dan Metro TV. Di Victory News inilah saya semakin mengembangkan bakat dan keingintahuan saya akan dunia jurnalistik. Menjadi jurnalis berarti menyiapkan diri untuk melahirkan produk setiap hari. Menulis, wawancara, diskusi, rapat, deadline, perbedaan pendapat akan sebuah masalah dan kerjasama meraih visi dan misi mejadi makanan harian yang menyenangkan dan takkan pernah saya sesali.

Di tempat ini pula saya banyak belajar dari para jurnalis senior seperti Chris Mboeik dan Lourens Tato, dua putra terbaik Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sukses menjadi jurnalis nasional namun rela kembali ke NTT dan meluangkan waktu untuk memajukan jurnalisme NTT. Sampai sekarang, passion di bidang jurnalistik masih terus saya kembangkan meski terbilang berlawanan arus dengan latar belakang pendidikan dan persepsi lingkungan yang masih menganggap PNS atau bekerja kantoran lebih baik.

Tapi hidup adalah pilihan. Konsekuensinya adalah menerima segala resiko. Saya telah memutuskan untuk berkarier di dunia jurnalistik. Bukan karena saya membutuhkan pekerjaan sebagai seorang jurnalis, tapi karena saya ingin menguji kemampuan saya, berproses, dan berkontribusi di bidang ini. Seperti kata pepatah, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit,” saya mulai mencoba merencanakan masa depan. Saya ingin mendapatkan kesempatan belajar di negara dan budaya yang baru. Saya ingin mencoba keluar dari zona nyaman dan berproses dengan ketaknyamanan sementara.

Menjadi Duta Bangsa

Tuhan memang tak melihat kerja keras yang saya lakukan selama ini dengan sebelah mata. Saya bersyukur bahwa niat saya belajar di negara baru terwujud. Kesempatan pertama saya peroleh di tahun 2012. Kala itu saya mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengikuti program Pertukaran Pemuda Indonesia-Korea Selatan.

Dalam kegiatan ini, saya bersama 18 delegasi Indonesia dari seluruh Indonesia dan Korea Selatan secara langsung saling bertukar informasi dan pengalaman, melakukan lokakarya, diskusi, dan tur untuk semakin tahu tentang perkembangan budaya, teknologi, dan kerjasama antara kedua negara. Kami mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin dan duta Indonesia yang bisa sejak dini menjalin persahabatan dengan para pemuda dari negara tetangga.

Saya mengalami sebuah pengalaman akan persaudaraan antar sesama pemuda dalam satu negara, dan sesama pemuda antar negara. Hal terindah yang saya alami bukan terletak pada kesempatan mengunjungi Korea Selatan semata, tapi kebersamaan bersama pemuda-pemuda luar biasa yang terdidik, berbakat, penuh optimisme, dan selalu berupaya untuk masa depan yang lebih baik. Apa yang telah delegasi Indonesia dan Korea jalin dan jalani bersama, merupakan sebuah rangkaian cerita dan kenangan manis untuk menetapkan sebuah hubungan yang baik di masa depan.

Membayangkan para pemuda dunia menjalin persahabatan yang penuh damai dan kasih saat ini kiranya menjadi salah satu jalan terbaik demi perdamaian dunia di masa depan. Mengalami pemuda dari Korea Selatan dan Indonesia saling tersenyum, dengan ramah saling bercanda, berdiskusi, saling melengkapi, berpelukan, dan bergandengan tangan serta saling membantu, merupakan buah manis yang bisa saya temukan lewat program pertukaran pemuda antar negara. Sebagai tulang punggung bangsa, pemuda Korea dan Indonesia sedini mungkin menjalin hubungan baik untuk masa depan bangsa dan dunia yang harmonis. Tak ada lagi kata perbedaan yang memisahkan dan menghancurkan tapi hanya ada perbedaan yang menyatukan.

Menimba Ilmu di Amerika Serikat

Setelah mendapatkan pengalaman di Korea Selatan, saya berharap bisa mendapatkan kesempatan belajar di negri Paman Sam dan meningkatkan kemampuan berbahasa. Saya ingat pernah mengikuti sosialisasi dari America Indonesia Exchange Foundation (AMINEF) di tahun 2011. Saya tertarik pada salah satu program beasiswa yang ditawarkan yakni Community College Initiative Program (CCIP).

Saya akhirnya bertekad melamar di tahun 2013. Hasilnya, mungkin bisa gagal atau juga berhasil namun setidaknya saya mencoba. Beruntung, pimpinan tempat saya bekerja mendukung rencana saya dan memberi kesempatan untuk mengikuti tes. Meskipun akhirnya saya memutuskan untuk cuti panjang dari pekerjaan tanpa digaji, namun sekali lagi resiko untuk sebuah keputusan yang baik harus saya ambil.

Galau menanti keputusan sudah pasti. Ini adalah beasiswa pertama yang saya lamar. Sekitar 3 bulan menanti dan mengikuti proses seleksi yang cukup melelahkan, akhirnya saya mendapatkan kabar gembira bahwa saya dinyatakan lolos untuk bisa menempuh pendidikan selama satu tahun di Northeast Wisconsin technical College (NWTC) Green Bay, Wiconsin, US. Saya mengambil jurusan Digital Media Technology and Communication di NWTC demi mematangkan ketrampilan untuk menjadi seorang jurnalis. Sebuah anugrah yang luar biasa dari Tuhan.

Mengenang semua proses yang tak mudah ini, salah seorang adik perempuan saya berkata, “Ka’Ly memang pantas mendapatkannya karena Ka’Ly berjuang keras untuk itu. Kami hanya mendoakan yang terbaik untuk Ka’ Ly.” Kalimat manis ini lebih menguatkan saya untuk melalui hari-hari di NWTC. 30 Juli 2014, saya tiba di Green Bay setelah melalui perjalanan panjang dari Kupang – Jakarta – Narita (Jepang) – Chicago (Amerika Serikat).

Saat ini saya sudah dua bulan berada di Green Bay. Setiap hari terasa istimewa bagi saya. Saya selalu mendapatkan kesempatan untuk mempelajari hal baru dan memperkenalkan Indonesia. Saya beruntung mendapatkan pembina dan para instruktur yang ramah di NWTC. Tak ada hal lain yang dapat saya lakukan untuk mensyukuri semua berkat dan kesempatan ini selain terus melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan demi kemuliaan Tuhan dan masa depan yang lebih baik.

Untuk Nusa Tenggara Timur, Untuk Indonesia

Satu tahun, rasanya terlalu singkat untuk mendapatkan segala sesuatu di Amerika namun saya mendapatkan apa yang saya butuhkan untuk masa depan yang lebih baik untuk diri saya dan untuk NTT. Semoga setelah kembali dari Amerika, saya bisa memberikan kontribusi positif untuk Nusa Tenggara Timur. Saya yakin keinginan yang tulus dan kerja keras memungkinkan kita menemukan jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Sebagai manusia dan wanita, saya menyadari fisik yang sempurna adalah berkat yang terberi dari yang kuasa. Namun membangun sebuah pribadi yang berkarakter, cerdas dan mandiri; adalah sebuah perjuangan panjang yang membutuhkan proses, ketekunan, dan kemauan untuk terus belajar. Selalu ada cara positif yang bisa dibangun, untuk menjadi pribadi yang cerdas dan mandiri. Tinggal bagaimana cara kita menanggapi setiap kesempatan untuk menjadi yang terbaik.

Saya yakin masih banyak putra-putri NTT yang cerdas dan punya mimpi yang sama. Banyak saudara saya di NTT yang ingin memiliki kesempatan seperti yang saya alami namun masih berjuang melawan keterpurukan, keterbatasan fasilitas, kemiskinan, dan terisolasi topografi. Namun, saudaraku, dunia ini adalah milikmu. Tetaplah bermimpi dan bangun di pagi hari. Hiruplah udara kemenangan dari matahari pagi dan singsingkan lenganmu untuk belajar, berjuang, dan meraih mimpimu. Mungkin bukan hari ini, tapi percayalah saat kalian memulai proses meraih mimpi setiap hari maka kalian semakin dekat dengan mimpi.

Akan tiba saatnya, kalian menyadari betapa kekuatan mimpi itu seperti kekuatan matahari yang membakar semangat manusia untuk memulai hari dan mengakhirinya dengan indah. Buatlah setiap harimu menjadi hari yang istimewa meski dengan pekerjaan kecil dan segala keterbatasan. Tak peduli di mana kalian lahir atau dibesarkan. Tak peduli kalian ada di pelosok Timor, Flores, Sumba, Sabu, Rote, Alor, Solor, Lembata, Adonara, Pulau We bahkan pelosok Papua sekalipun. Kalian adalah pemuda-pemudi terbaik yang berhak bermimpi dan berhak meraih mimpimu.

Jangan pernah menyerah oleh keterbatasan sementara karena mimpi dan kekuatan kalian jauh melampaui setiap keterbatasan. Kalian saudaraku, memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpimu setiap hari, ambillah kesempatan itu dan buatlah hari dunia menjadi harimu. Berbuatlah yang terbaik dan jangan pernah berhenti mewujudkan mimpimu. Terimalah salam hangat dan kemenangan akan mimpi-mimpimu!

Salam Komodo,

Maria Beverly Rambu (Nusa Tenggara Timur)

Categories:   Sosok

Comments

  • Posted: Jul 5, 2016 21:43

    Jordy Alexander

    Selamat malam Rambu Maria,sungguh luar biasa perjalanan dan kisah hidup yang rambu bagikan. Terimakasih banyak untuk pelajaran hidup yang rambu sudah bagikan. Sangat terinspirasi sekali. Tuhan memberkati.

error: Content is protected !!