Kampusgw.com

Menu

Bertahan Kuliah Dengan Menekuni Freelance

Perjuangan menjadi mahasiswa mudah dengan membeli formulir atau melihat cara pendaftaran secara online, mengisi jurusan yang diinginkan, belajar dan diterima. Akan tetapi perjuangan sesungguhnya adalah bagaimana ketika menjadi mahasiswa dan meraih kelulusan. Banyak pengorbanan harus dilakukan dan begitu juga dengan kendala yang akan dihadapi. Mulai dari segi administrasi, substansi dengan pihak pengajar serta nilai, dan lebih vital adalah masalah keuangan. Kisah berikut yang akan penulis kupas berawal dari seorang mahasiswa pascasarjana, lebih banyak menghabiskan belajar tentang agama dan saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan Antropologi.

Didi Subandi

Didi Subandi

Didi Subandi namanya. Namun teman-teman lebih suka memanggilnya Baban. Julukan tersebut didapatkan dari nama belakangnya yaitu Subandi. Lahir 2 Juni 1985 di Cirebon, menjadi perantau sejak lulus dari Madrasah Tsanawiyah dan melanjutkan pendidikan Madrasah Aliyah di pondok pesantren Lirboyo. Tsanawiyah adalah tingkat pendidikan setara SMP sedangkan Aliyah setara SMA. Istilah tersebut lekat degan pendidikan islam di Indonesia.

Studi yang dijalani Didi semenjak S1 tidak pernah lepas dari masalah. Namun karena pada masa tersebut biaya kuliah masih murah dibandingkan dengan sekarang maka perjuangannya pun tidak bisa dikatakan mudah. Pernah mengajar mengaji dan aktif di lembaga masyarakat sejak menjadi santri Lirboyo adalah kelebihan yang dimilikinya. Berawal dari itu, sumber dana akhirnya bisa didapatkan melalui pinjaman para senior-seniornya. Sekarang tanggungan tersebut telah dilunasinya karena pernah bekerja menjadi staf pegajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU). Memiliki cita-cita ingin mengembangkan pemikiran islam modern, maka perjuangan selanjutnya melanjutkan pendidikan ke jurusan Antropologi, Universitas Indonsia. Karena ingin berkonsentrasi penuh agar maksimal maka Didi memutuskan untuk tidak mengajar kembali di STAINU. Keputusan yang berani tersebut menurut penulis perlu mendapatkan apresiasi kisah inspiratif di sini.

Memang tidak mudah untuk memahami realitas sosial dalam kehidupan dituangkan dalam konsep pemikiran yang utuh, ilmiah, dan sistematis dalam dunia akademik. Kendala awal yang dihadapi ilmu sosial khususnya antropologi sangat baru sekali bagi Didi. Tujuan jangka panjangnya bagaimana melakukan penemuan pemikiran baru tentang keagamaan yang kritis dan rasional. Mengalami masalah cukup serius karena pandangan yang dikemukakan dalam kelas hampir semua bertentangan dengan dosen karena tergolong dogma. Menyiasati hal tersebut, setiap selesai kuliah selalu menyempatkan untuk melakukan diskusi dengan teman sekelas dan berkunjung ke perpustakaan universitas dengan intensitas tinggi. Esensi keilmuan sedikit-sedikit didapatkan untuk mengatasi masalah cara berpikirnya yang dogmatis.

Masalah kedua muncul setiap akhir semester. Biaya yang bersumber dari dana pribadi ikut membentuk karakter gigih, tidak mudah menyerah, dan ulet sebagai modal untuk menyelesaikan studinya. Pekerjaan sebagai pengajar dilalui. Hanya cara yang ditempuh sedikit berbeda, menyebarkan brosur ke rumah warga sebagai upaya awal demi mendapatkan pekerjaan mengajar ngaji. Usahanya pun mendapat sambutan positif dari beberapa kalangan. Pada akhirnya pekerjaan menjadi guru ngaji dipakai untuk menghidupi biaya hidup dan sebagian disisihkan untuk membayar SPP semester. Insting survive yang dimiliki luar biasa, “saya ini kan aktivis sudah mulai merantau sejak lulus SMP, berjuang juga jangan setengah-setengah tapi totalitas”. ujarnya dengan nada tinggi.

Tidak berhenti di situ saja. Demi memenuhi ekspektasinya mengenal pengembangan pemikiran Islam modern, menjaga tali silaturahmi dengan senior yang berada di organisasi NU mendapatkan berkahnya. Hasil yang didapatkan berupa penelitian sampai keluar kota. Freelance sebagai surveyor di Populi Centre salah satu kunci hingga sampai saat ini berjuang menyelesaikan studinya. Status freelance disandang sehingga tidak terikat dengan pihak manapun dalam menjalankan pekerjaannya.

Ketika penulis berujar “kesuksesan akan mengikuti ketika kita mau berjuang, status bukan memiliki pekerjaan memang tantangan karena bisa dibilang setiap minggu mencari pekerjaan namun akan bisa lebih fokus ternyata kelebihan yang saya dapatkan dari sini”. Pemuda ramah dengan senyum ini menceritakan, tips untuk bekerja sampingan bukan tipenya melainkan kerja akademik adalah passion-nya. Mulai dari editor skripsi, buku, mengikuti penelitian dosen atau senior, freelance di NGO lokal bahkan pernah disewa menjadi anggota “demo bayaran” yang sejamnya saja bisa hidup untuk satu bulan.

Inti semua yang disampaikan bahwa dengan menjaga silaturahmi dan memperluas jaringan, sebenarnya dapat menjadi modal untuk bisa bertahan dan membiayai kuliahnya sebagai mahasiswa pascasarjana. Hal yang disampaikannya bukanlah omong kosong belaka, di sela-sela aktivitas sebagai aktivis muslim di LAKPESDAM NU Depok mengatasi masalah tempat tinggal bisa dengan berbagai cara. Totalitas dalam perjuangan merupakan nilai lebih dari mahasiswa semester 4, tinggal di pondok pesantren mahasiswa bukan hal baru lagi dengan begitu biaya untuk tinggal bisa dipangkas. Estimasi biaya yang dibutuhkan jika indekos sekitar 500 ribu perbulan, kalau menyewa rumah ramai-ramai bisa ditekan lagi. Cara jitu yang efektif bagi Didi adalah ‘menyerahkan diri’ ke pondok pesantren. Definisi menyerahkan diri bukan sikap kepasrahan namun berhimpitan dengan beribadah kepada sang Illahi, penyerahan diri mengabdi kepada pengasuh pondok pesantren. Setali tiga uang yang akan di dapatkan berupa ilmu agama, biaya hidup lebih murah, dan teman seperjuangan jelas lebih banyak lagi sehingga jaringan sosial untuk digunakan jangka panjang maupun jangka pendek sudah pasti bertambah.***

***Artikel ini merupakan karya Rahmat Fauzi Saleh, penulis Kampusgw.com 

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!