Kampusgw.com

Menu

Keterbatasan Bukan Penghalang

Keterbatasan fisik ataupun ekonomi adalah suatu “garis” yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Tugas manusia adalah bagaimana menyikapi keterbatasan tersebut. Ia boleh menangisi ataupun meratapi sehingga benar-benar tak memiliki rasa percaya diri. Ia juga boleh menjadikan keterbatasan itu untuk cambuk bekerja lebih keras dari mayoritas orang. Ya, keterbatasan bukan penghalang. Berikut ini adalah sosok alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sejak kecil berjuang habis-habisan “melawan keterbatasan” tersebut.

 

Siapa nama lengkap Anda?

Nama saya Adi Mulia Pradana

 

Kapan dan dimana Anda dilahirkan?

 Agustus 1990 di Semarang Jawa Tengah.

 

Apakah orang tua Anda kesulitan membiayai sekolah?

Bisa dikatakan, ya. Baik untuk menyekolahkan saya maupun adik saya. Mungkin bisa dimaklumi karena saya menjadi yatim sejak 2000. Tapi saya tak pernah melihat ibu saya mengeluh masalah biaya pendidikan. Kini, adik saya mendapatkan beasiswa kuliah di Nanyang Technological University Singapura.

 

Apa yang Anda dapatkan selama SD sampai SMA?

Selama 6 tahun, saya berada di suatu SD di Semarang. Prestasi secara spesifik, adalah juara pramuka tingkat kota Semarang tahun 2001. Peran saya di dalam tim pramuka itu, selain tentunya baris – berbaris, ialah tim Pengetahuan Umum, Morse, dan Semaphore. Kalau prestasi pribadi, nyaris tidak ada, selain juara IPS tingkat sub region Semarang Selatan. Kalau masalah rangking, sepertinya banyak orang bisa rangking satu terus – menerus, jadi patokan prestasi dengan rangking, kurang valid. Tapi mungkin pengalaman paling berharga semasa SD ialah bahwa saya diajarkan bahwa keterbatasan bangunan fisik SD dan atau fasilitas SD, bukan alasan untuk berhenti berprestasi. Saat sekarang saya melihat ke masa lalu saya di SD, melihat beberapa teman SD yang seangkatan, ternyata kami juga bisa sukses. Jadi, menurut saya, kita tak harus mengeluh atas fasilitas di mana kita bersekolah, di tingkat apapun

Saya sekolah di SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta pada 2001 – 2004. Organisasi yang wajib bagi “anak” Muhammadiyah tentu saja pramukanya (yang bernama Hizbul Wathan) dan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Di IRM, saya aktif selama 2 tahun.. Mungkin prestasi yang paling saya ingat di SMP ialah saat saya meraih 5 besar Cerdas Cermat Matematika se-Kota Yogyakarta. Yang membanggakan bukan karena saya kebetulan “bukan siapa–siapa” tapi bisa tembus 5 besar. Tapi saya lebih bangga bahwa sekolah saya yang selama ini dianggap “kacangan” (tak bermutu) oleh SMP Negeri, ternyata bisa memberi pukulan telak. Saya senang sekali karena guru–guru matematika saya merasa bangga bahwa pencapaian itu membuat SMP kami tak lagi diremehkan oleh SMP Negeri.

Saya tak menyia-nyiakan kesempatan sebagai siswa di SMA Negeri 4 Yogyakarta pada 2004 – 2007. Saya aktif di berbagai organisasi, mungkin karena pandangan bahwa “masa yang paling indah adalah SMA”.

  • Pertama, justru organisasi yang saya ikuti ialah TONTI (Peleton Inti, semacam Paskibraka di SMA). Lumayan juga, beberapa gelar juara bisa didapat angkatan TONTI saya bahkan sebelum kami resmi dilantik sebagai anggota.
  • Kedua, Rohani Islam (Rohis0. Agak lucu kadang, bahkan sampai menjadi salah satu petinggi Rohis. Tapi yang paling membuat saya senang di Rohis ialah pengalaman meng–EO–kan acara–acara Islami dengan dana amat terbatas, dan kita sadar bahwa acara–acara Islami kadang kalah gaung dengan acara–acara pentas seni. Tapi saya suka tantangan selama 2 tahun di Rohis.
  • Ketiga, Karya Ilmiah Remaja. Mungkin gara–gara ikut KIR, saya kemudian di perkuliahan aktif menulis.
  • Keempat, Sepakbola. Mana ada sih anak laki SMA yang tidak tertarik ekskul sepakbola, hehehe. Atau mungkin karena selama ini saya kesannya diremehkan karena tak memiliki tubuh yang tinggi untuk bersepaka bola ya, hehehe.
  • Kelima, OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) selama 2 tahun.
  • Keenam, walaupun badan saya kurus dan tak terlalu tinggi, sampai saat ini saya masih memegang rekor 5K tingkat sekolah.
  • Ketujuh,  menjadi juara umum Sejarah (tim) tingkat provinsi Jawa Tengah. Prestasi ini menjadikan saya sebagai tim pendamping Sejarah bagi siswa setelah saya lulus.

 

Mengapa Anda memutuskan kuliah di jurusan hubungan internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta?

Saya awalnya bermimpi untuk menjadi dokter saat SD, karena bangunan SD saya dekat dengan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Tapi pada saat SMP, saya bercita – cita menjadi wartawan, karena kesannya keren dan amat sibuk, hehehe. Tapi sejak SMA kelas 2, saya sadar bahwa kemampuan saya yang sangat kuat dalam pelajaran Sejarah (sejak saya di SD) akan amat berguna jika saya mengambil jurusan hubungan internasional. Oleh karena itu saya mengikuti tes Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada (UM UGM) karena pada waktu itu tes ini adalah tes masuk universitas paling sulit di negeri ini. Saya nekad untuk kuliah di jurusan ini karena saya tahu bahwa di UGM, jurusan hubungan internasional masuk dalam 6 jurusan terfavorit dari seluruh jurusan yang ada. Kenapa saya memilih UGM? Karena ini adalah kampus terbaik yang dimiliki bangsa ini.

 

Organisasi apa saja yang Anda ikuti ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada?

  • Pertama, saya berkecimpung di KOMAHI (Korps Mahasiswa HI UGM), selama 2 tahun di bagian eksternal (2007 – 2009).
  • Kedua, saya berkecimpung di BEM KM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM) di bagian kajian strategis (Kastrat), sejak 2007 – 2009.
  • Ketiga, saya berada di Institute of International Studies HI UGM, lembaga penelitian di jurusan hubungan internasional UGM. saya sudah bergabung sejak nama lembaga ini masih bernama Laboratorium Studi Globalisasi (LSG) HI UGM. Saya bergabung sejak 2009.
  • Keempat, (lagi – lagi) di Rohis kampus, tapi untuk tingkat fakultas, bernama Jamaah Muslim FISIPOL. Saya tidak mengikuti lembaga ekstra kurikuler non-kampus, karena sudah cukup penuh dengan kegiatan Karang Taruna dan Ketakmiran Masjid di kampung saya sejak 2001. Menurut saya, hal yang amat ironis jika kita amat aktif di banyak kegiatan organisasional tapi justru “melupakan halaman terdekat”. Kadang, jauh lebih penting berkontribusi di masyarakat (Karang Taruna, Ketakmiran) karena kita berhadapan dengan hal yang benar–benar riil. Apalagi saat kita beranjak sebagai mahasiswa. Kemampuan membagi waktu, kedewasaan kepemimpinan organisasional, justru amat dituntut. Bahkan, sekalipun anak kos dan atau anak asrama mahasiswa suatu provinsi (di Yogyakarta, banyak sekali asrama mahasiswa yang berada di tengah perkampungan), harusnya punya kepedulian untuk berkontribusi langsung di masyarakat. Bukan sebatas sebagai tanggungjawab moral pemuda asli kampung tersebut.

 

Siapa tokoh idola Anda?

Saya selalu mengagumi Muhammad Hatta dan Amien Rais. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan asal orangtua saya yang misalnya ibu saya dari Bukittinggi (lalu kebetulan Hatta lahir di Bukittinggi) atau almarhum saya lahir di Solo (Amien Rais juga lahir di Solo). Saya suka sekali prinsip, tindakan, cara pikir dari kedua tokoh ini. Mungkin alasan mengapa HI UGM saya pilih, ada kaitan (sedikit) dengan Amien Rais.

 

Apa prinsip hidup Anda?

Banyak teman – teman saya secara sinis mengatakan bahwa prinsip hidup saya “kelewat idealis dan utopis”. Tapi pada dasarnya, prinsip hidup saya adalah memberi tulus pada siapapun dan apapun respon orang, bersikap kritis objektif atas suatu masalah dengan dasar nalar dan solusi, serta menghargai setinggi-tingginya segala bentuk kebebasan berpendapat yang beretika. Kalau harus dipaksakan dalam satu moto hidup, susah, karena saya juga tak punya moto hidup. Mungkin salah satu kutipan yang sangat melekat pada saya saat ini, “saya mungkin membenci pendapat anda, tapi bagaimanapun saya rela mati untuk membela kebebasan berpendapat”.

 

Pernahkah Anda mengikuti perlombaan? Apa manfaatnya?

Tentu saja pernah. Manfaat lomba adalah mengasah kemampuan berkompetisi, menjalin rekanan yang sama–sama cerdas, membuka wawasan dan melatih keterbukaan cara pandang atau melatih sense “out of box” menghadapi suatu isu.

 

Pernahkah Anda mendapatkan beasiswa? Apa triknya?

Pernah, di SMP, SMA, dan perkuliahan. Caranya bukan sebatas membangun nilai akademis yang bagus. Tapi juga “soft skill” yang harus dibangun sebaik mungkin, agar pantas sebagai penerima beasiswa sekalipun itu bukan kriteria/syarat mengajukan beasiswa. Serta yang paling utama, tak membohongi kemampuan finansial keluarga

 

Pernahkah Anda bekerja sambil kuliah? Apa suka dan dukanya?

Pernah. Yang lebih tepat disebut freelance (kerja lepas), mungkin saat saya berada di Institute of International Studies HI UGM. Yang lainnya ialah mengkoordinir buku teks perkuliahan. Sebagai orang yang kurang mampu, saya amat paham dan menghargai betapa penting buku. Tidak dipungkiri, buku–buku mahasiswa hubungan internasional biasanya impor. Jadi, sedapat mungkin, jika dosen menitipkan buku di kelas, saya selalu yang dijadikan “sasaran” harus mengkopi, hehehe. Saya memang terbiasa mencari fotokopian yang bisa semurah mungkin dalam biaya. Sekalipun sebetulnya teman – teman saya banyak yang sangat kaya, tapi tetap saja saya berusaha mempermurah buku, karena keadilan harga adalah untuk semua, bukan untuk yang kurang mampu saja terus “dimurahin”, itu malah tidak adil, hehehe.

Dukanya, mungkin pernah harus bayar DP (Down Payment) sampai 7 juta pakai uang sendiri, hehehe. Karena kadang saya mengkopi sampai untuk 150 orang hanya untuk 1 judul buku, belum buku yang lain, belum ketebalannya. Di sisi lain, saya amat paham juga bahwa tukang fotokopi pasti butuh modal kertas. Jadi jika (mungkin) orang lain baru bayar “dibelakang” pada pihak fotokopian, saya malah bayar di depan sebagai bentuk empati dan menghargai kemampuan tukang fotokopi mengkopi sebanyak yang saya pesan. Oh ya, saya juga tak materialistis, hehehe, di mana biaya jual buku hampir sama dengan biaya pengkopiannya, kadang tidak pakai untung sama sekali. Itu sudah membuat saya senang. Dukanya lagi, mungkin mengantarkan buku–buku itu ya, apalagi saat baru awal–awal masuk kuliah. Tapi itu lebih menantang, misalnya lebih kenal area rumah kost. Karena saat awal–awal kuliah sebagai mahasiswa baru, pasti banyak sekali referensi buku yang harus dikopi, sementara teman–teman inginnya cepat dapat. Jadi ya harus “potong kompas”, bukan mengantar di kampus, tapi langsung antar ke kost–kostan teman, tanpa tambahan biaya. Itu pengalaman mencari uang yang cukup lucu dan menyenangkan kalau saya ingat lagi, hehehe.

 

Pernahkah Anda menjai relawan?

Kalau yang benar–benar menjadi relawan sosial, mungkin sempat beberapa kali, yaitu saat Yogyakarta terkena gempa pada 27 Mei 2006. Entah dalam konteks bersama teman–teman SD, atau bersama Karang Taruna kampungku ke kampung yang terkena dampak parah gempa di area Bantul. Atau saat menjadi relawan pemilu 2009 di Gunungkidul. Pada dasarnya, (mungkin kecenderungannya) saya lebih suka lembaga–lembaga konvensional seperti BEM atau Karang Taruna dalam melakukan aksi sosial. Memang benar, tidak setrendi berbagai lembaga – lembaga lainnya (saya tak ingin menyebut nama–nama, tapi harusnya sudah tahu sebetulnya). Tapi menurut saya, yang terlupakan dari aksi sosial adalah sejauh mana kita benar–benar “impas” dalam permodalan dan outputnya. Justru di lembaga konvensional seperti BEM atau Karang Taruna, kita diajarkan untuk sehemat mungkin berkegiatan tapi punya efek langsung yang benar–benar riil ke masyarakat.

Misalnya Karang Taruna, sedapat mungkin kita menghemat dana untuk acara sosial seperti bakti sosial hari tertentu atau saat pengajian rutin tiap hari di bulan Ramadhan atau saat penyembelihan qurban. Karang Taruna pasti berusaha menekan sebanyak mungkin biaya operasional secara tim maupun secara individu, tapi bisa memberi output sbeanyak mungkin. Atau di BEM, mengadvokasi hak mendapat keringanan uang pangkal (biasanya saat pendaftaran mahasiswa baru) atau advokasi akses beasiswa. Hal ini tentu dilakukan aktivis BEM dengan sehemat mungkin biaya organisasional BEM maupun dana pribadi dari tiap aktivis, tapi efeknya benar–benar nyata. Secara jujur, saya lebih salut dengan yang masih aktif di Karang Taruna/BEM, dibanding yang (sok) ikut–ikutan organisasi tertentu hanya karena “asal mengikuti karena tren”. Saya sangat menitikberatkan dampak langsung, dan sejauh ini, sekalipun konvensional, yang namanya Karang taruna/BEM efeknya masih besar. Kadang yang mencibir lembaga – lembaga tadi, karena ya mereka tidak pernah mau ikut Karang Taruna/BEM dan (sok) mengkritik tapi tidak melihat diri sendiri (misal mengkritik “kuno-lah”, sudah kurang “up to date-lah”, dan lainnya). Sayangnya, lembaga konvensional semacam tadi makin sepi peminat, dan justru saya makin berempati pada pihak yang masih mau berkiprah di lembaga konvensional tadi. Bisa dikatakan, motivasi saya mengikuti atau menjadi relawan sosial agar bisa benar–benar berkontribusi riil ditengah masyarakat

 

Apa cita-cita Anda?

Sekalipun saya sudah bekerja di lembaga swadaya masyarat dan di DPR, (Dewan Perwakilan Rakyat), saya masih menyimpan keinginan besar untuk bekerja di Kementerian Luar Negeri, tidak harus menjadi diplomatnya. Bagaimanapun, ilmu hubungan internasional amat ideal untuk dikontribusikan di kementerian tersebut. Meskipun mungkin (jujur sajalah) gaji di Kementerian Luar Negeri amat kecil dibandingkan misalnya di perusahaan multinasional. Cita–cita lain, mungkin karena (konon) saya dikatakan punya bakat mengajar, saya masih berkeinginan menjadi dosen hubungan internasional pda suatu saat nanti.

 

Apakah Universitas Gadjah Mada masih layak disebut sebagai “kampus rakyat”?

Saya dapat mengatakan bahwa program beasiswa di UGM masih kurang memihak mahasiswa kurang mampu. Harus dipahami, ada 2 bentuk beasiswa, beasiswa yang sejak awal diberikan pada mahasiswa baru saat dirinya mendaftar sebagai mahasiswa UGM, dan beasiswa yang harus diraih dengan nilai akademik setelah mulai berkuliah. Bahkan saya masih menginfokan beasiswa untuk mahasiswa HI hingga kini, dan menyampaikan satu persatu jika ada nama teman–teman/adik angkatan yang dapat beasiswa, dan itu saya lakukan sejak 2007, yang jika memang ada nama non HI tapi kebetulan saya punya nomor HP nya misalnya, akan saya beri tahu juga agar dia segera ambil.

Untuk beasiswa yang bentuk pertama, itu jumlahnya masih kurang sekali dibandingkan kemampuan UGM untuk menyelenggarakan beasiswa. Dengan uang pangkal yang masuk dari tiap mahasiswa baru, saya pikir UGM tak harus menghabiskan dana hanya untuk bangunan fisik yang kadang tak terpakai (dan akhirnya membuat mubazir). Hitungan saya, untuk beasiswa bentuk pertama (dulu namanya PBUTM, sekarang terintegrasi dalam beasiswa BIDIK MISI seperti di banyak universitas lainhya), harusnya UGM bisa menambah hingga 2 kali lipat jumlah penerima BIDIK MISI.

Sementara beasiswa dalam bentuk kedua, yang didapat melalui nilai akademis di perkuliahan, memang tak adil. Ini sama sekali bukan karena saya pernah mendapat beasiswa jika saya berbicara kritis. Tapi justru karena saya berempati pada yang tak mendapat beasiswa. Misal analoginya seperti ini. Ada mahasiswa yang benar–benar kurang mampu, tapi gagal dalam mencari “beasiswa bentuk pertama” (yang sudah saya jelaskan). Sebetulnya, dia benar – benar pintar. Tapi dia harus kerja paruh waktu, dan banyak jadwalnya tabrakan dengan jadwal yang harus masuk kuliah. Kalau tugas-tugas, mungkin sambil tanya dan kemudian dikerjakan malam hari, bisa kan ya. Tapi kalau kebetulan banyak perkuliahan dengan kuis yang persentasenya cukup tinggi dalam membentuk nilai akhir mata kuliah itu ? kasihan juga kan sebetulnya. Anggaplah kemudian mahasiswa ini bisa menempuh segala tantangan kuliah, bisa IPK tinggi, tapi karena waktu hidup dia habis untuk kerja dan kuliah, dia tidak sempat mendaftar beasiswa.

Sementara ironisnya, saya tak bicara tentang UGM tapi kadang juga universitas lain (dan kadang sulit untuk diakui secara jujur), banyak yang sebetulnya amat mampu, misal rumah kostnya amat lapang, punya motor bagus atau bahkan mobil (misalnya), tapi tetap mencoba mencari beasiswa. Dengan amat fokus untuk berkuliah, mahasiswa ini tentu bisa dengan mudah mendapat IPK tinggi, dan leluasa dalam mendaftar beasiswa.  Belum lagi, justru mahasiswa seperti ini juga lebih leluasa mendapat info beasiswa, misalnya karena kemudahan berinternet. Sementara kadang mahasiswa yang tak mampu, tak punya kesempatan ke warnet karena waktu hidupnya habis untuk kerja, tak punya laptop (misal sebatas mencari info via WIFI di kampus), dan pengumuman beasiswa di papan pengumuman berbagai fakultas, kurang informatif. Di web kampus yang menyediakan info beasiswa pun, saya nilai masih kurang informatif (dalam hal ini, UGM).

Sedihnya, seleksi syarat adminstratif dalam pengajuan beasiswa, amat lemah. Misal, tak harus mengajukan “kartu tidak mampu”. Tentu saja yang amat mampu tapi berusaha mendapat beasiswa, tidak mengalami masalah karena tak punya “beban malu” mengajukan “kartu miskin” (di kelurahan), sementara syarat–syarat pengajuan beasiswa lainnya bisa dibuat sendiri. Juga masalah slip gaji orang tua, yang amat mudah “kebobolan”. Akhirnya saya lebih suka mengatakan bahwa masalah beasiswa ini akhirnya menjadi etika. Saya masih amat sedih bahwa (karena saya tahu) ada mahasiswa yang membawa mobil di kampus, dan masih mendapat beasiswa, dan alasan “mencari beasiswa” : “kan yang kaya bukan saya, tapi orangtua saya, saya berhak dong mencari beasiswa karena IPK saya tinggi”. Alasan itu yang menyakitkan, apalagi jika didengar langsung bagi yang benar–benar berhak mendapat beasiswa tapi malah tak mendapatkannya.

Dari analisa saya dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar  tiga persen mahasiswa kurang mampu yang mendapatkan beasiswa di UGM. Tujuh puluh persen diantaranya  terpaksa harus bekerja dan tak mendapatkan beasiswa karena berbagai faktor diatas.Dengan gambaran masih tak jelasnya pembagian beasiswa di UGM, sudah cukup membuat UGM makin jauh dari sebutan “kampus kerakyatan”. Saya tak pernah menyalahkan mahasiswa mau membawa mobil sebanyak apapun untuk kendaraan berkuliah. Tapi akan lebih etis jika tak membawanya ke kampus, misal di suatu parkiran non-UGM. Atau bahkan, sekalian saja tak membawa mobil ke kampus, dan hanya bawa mobil jika dalam acara non kampus. Banyak tidaknya mobil di kampus bukan ukuran “merakyat atau tidak”, tapi lebih ke aspek bagaimana menggunakannya. Apalagi saat saya tahu sendiri bahwa ada beberapa mahasiswa yang punya mobil tapi mencari beasiswa. Masalah ada gedung 7 lantai atau mau berapa lantai, sebetulnya juga tak bisa dipaksakan sebagai parameter “merakyat tidaknya” suatu kampus. Masih lebih baik jika memang suatu kampus punya gedung mewah tapi benar– benar “murni” untuk perpustakaan. Saya tak sedang menyindir UGM atau universitas lain.

 

Apakah pesan-pesan Anda untuk calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi?

Jangan pernah untuk tak percaya “rejeki tak pernah kemana”. Yakinlah bahwa mahasiswa yang kurang mampu memang punya “tanggungan” untuk lebih pandai dalam membagi waktu, antara kuliah, kerja, atau secara spesifik berburu beasiswa. Tapi jangan pernah iri jika ada orang yang tak berhak mendapat beasiswa malah mendapat beasiswa, sementara yang harusnya berhak malah tak dapat. Yakinlah kalau usaha atau kerja keras, pasti berbuah di kemudian hari, dan rejeki tak mungkin salah alamat.

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!