Kampusgw.com

Menu

Perjalanan Anak Pelosok Menjadi Mahasiswa Berprestasi Nasional

Jika seorang bayi yang akan lahir di dunia boleh memilih, hidup apa yang disukai dan ingin dijalani mungkin semuanya akan memilih hidup yang ideal, di mana kebahagian dan kemudahan akan selalu ada di sana. But the world is not as perfect as anyone wishes so, setiap orang diciptakan untuk hal-hal dan tujuan tertentu. Everything comes for a reason and everything here is for good cause, terlepas bagaimana orang lain memandang hal tersebut menyedihkan atau menyenangkan. Sesuatu kenyataan yang pahit dan kadang sulit diterima oleh mereka-mereka, termasuk saya, yang hidup dalam kehidupan marginal.

Terlahir di pelosok desa nun jauh di sana di Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur, saya tidak punya banyak pilihan di dunia ini. Seringkali saya meratapi nasib betapa nahasnya kehidupan yang saya miliki. Jauh dari ideal dan jauh dari apa yang saya harapkan dan terus membanding-bandingkan dengan kehidupan orang lain yang dipandang lebih beruntung. Ya, jika saja saya bisa memilih ketika saya akan dilahirkan, maka semuanya tidak akan terjadi seperti ini. Entah apakah lebih baik atau buruk, semuanya juga tentu menjadi rahasia Tuhan.

Walaupun saya hanya dipandang sebelah mata atau bahkan tidak dipandang sama sekali oleh banyak orang, namun satu hal yang membuat saya bangga akan diri saya sendiri: saya ingin mengubah nasib saya menjadi lebih baik. Terlahir dengan banyak hal dan fasilitas yang taken for granted memang mungkin menyenangkan, namun saya tidak punya pilihan lain selain bekerja keras untuk perubahan pada diri sendiri.

It Was Painful But I Learned Lots

Pergi merantau ke ibukota bukan berarti sesuatu yang mudah. Banyak hal ini itu, larangan ini itu, pantangan ini itu dan segalanya yang memenuhi kepala saya tepat sebelum saya lulus dari SMA. Dan kenyataan bahwa keputusan saya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia mendapat tentangan dari banyak anggota keluarga menjadi hal yang menyedihkan bagi saya. Alih-alih dukungan finansial, dukungan moral dan semangat yang sangat saya butuhkan saat itu boleh dibilang minim atau bahkan tidak ada. Saya mungkin hanya meratapi nasib dan mengadu kepada Tuhan, yang akhirnya saya menekatkan diri untuk “melarikan diri” ke Jakarta beserta seonggok harapan besar di punggung saya. Saya hanya ingin merasakan betapa kerasnya hidup di sana dan betapa kerasnya saya harus bertahan hidup di situ.

Menjadi “mahasiswa daerah” yang jauh dari sanak keluarga, berada di lingkungan baru yang membutuhkan daya adaptasi level tinggi bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih jika berbicara menyangkut biaya hidup yang mahal di ibukota, menyerah dengan mudah seringkali membayangi. Banyak hal pahit yang saya alami sebagai mahasiswa baru di Universitas Indonesia, mulai ditolak oleh lingkungan kampus dengan “anak gaul” Jakarta sebagai mahasiswa dengan jumlah mayoritas dan dominan, dianggap terlalu kampungan, dipojokkan dan dipinggirkan: sungguh sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mereka-mereka yang terlahir kaya dan baik rupa, yang justru mereka lebih bersyukur dan menghargai orang lain yang lebih kurang beruntung.

Untuk menyiasati biaya yang tinggi, selama setahun saya harus “ngenger” atau numpang tinggal di rumah orang yang benar-benar saya baru kenal. Mungkin bagi yang pernah ngenger akan merasakan hal yang sama: merasa sungkan, tidak enakan, tidak bebas atau semacamnya. Dan jujur hal tersebut membuat saya semakin menderita. Banyak hal yang harus saya siasati untuk bisa menghemat pengeluaran sebaik mungkin. Saya dulu mungkin sering kali ikut seminar ini itu, mungkin selain untuk menambah pengetahuan, namun salah satu tujuan saya adalah untuk menghemat pengeluaran makanan dan juga alat tulis. Seringkali seminar di fakultas saya menyediakan makanan kecil dan alat tulis bagi para pesertanya. Bagi saya, hal tersebut signifikan dalam menghemat uang saya di kantong yang memang tipis dari sananya. Tidak bisa dipungkiri kalau saya adalah mahasiswa kurang gizi waktu itu, daging tipis membalut tulang-tulang saya yang semakin menonjol. Selama tidak kurang dari setahun, saya hanya bertahan dengan uang beasiswa yang besarnya tidak lebih dari 300 ribu rupiah perbulan.

Selain dengan cara itu, saya juga boleh dibilang jarang membeli buku-buku kuliah asli yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Jika saya tidak mendapatkan pinjaman dari kakak kelas, saya harus harap-harap cemas bisa mendapatkan jatah pinjaman dari perpustakaan. Seringkali saya tidak mendapatkan pinjaman, sehingga saya tidak punya bacaan untuk belajar. Jika saya ada sedikit uang, saya akan membeli buku bajakan atau memfoto kopi buku-buku tersebut. Bukan saya tidak menghargai hak cipta, namun saya juga punya hak untuk bisa mengenyam pendidikan, saya juga punya hak untuk belajar. Bagi saya waktu itu, buku asli, hanya untuk mereka-mereka mahasiswa kaya. Jauh asap dari arang bagi saya yang jelas-jelas jelata. Tidak hanya itu, di kala mahasiswa lain punya waktu untuk belajar, saya menggunakan waktu setelah kuliah untuk bekerja sampingan, mulai dari mengajar paruh waktu, menjadi pengawas ujian sampai menjadi juri di berbagai perlombaan. Dan sekali lagi, saya tidak punya pilihan lain.

Sempat saya “memberontak” kepada Tuhan, kenapa saya tidak seperti yang lainnya, mereka yang punya fasilitas sebagaimana mahasiswa normal lainnya. Namun toh saya hanyalah seonggok makhluk tak berdaya, saya hanya menerima apa yang sudah menjadi jalan saya, tidak lebih dari itu.

Tuhan Menjawab Pada Saat Yang Tepat

Tuhan memang seringkali tidak memberikan banyak pilihan bagi saya. Namun seringkali Tuhan memberikan jawaban atas doa-doa saya, pada waktu yang tepat menurut-Nya. Saya bahagia tidak kepalang tanggung ketika saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan mewakili Universitas Indonesia di luar negeri, tepatnya di Bandar Seri Begawan. Itulah pertama kalinya saya ke luar negeri dan pertama kali saya naik pesawat. Udik memang, namun apa mau dikata, naik pesawat hanyalah angan semata bagi mahasiswa miskin seperti saya. Passport yang beberapa bulan sebelumnya saya buat akhirnya Alhamdulillah terpakai juga. Dan saya sangat berterima kasih kepada Ibu Kasiyah M. Junus yang saat itu menjadi pejabat di lingkungan Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia.

Masih teringat jelas ketika zaman SMA di mana saya harus mati-matian ikut lomba penulisan artikel tentang Korea karena saya benar-benar ingin pergi ke negara yang menginspirasi saya tersebut. Setiap malam, Bapak saya rela mengantarkan saya ke tempat di mana saya bisa meminjam dan memakai komputer lantaran saya tidak punya komputer di rumah. Walaupun akhirnya gagal. Ketika menjadi mahasiswa, saya akhirnya bisa pergi ke Korea, bukan untuk event biasa karena di sana saya punya keluarga homestay baru yang menerima saya dengan suka cita, apa adanya, dan tidak memandang saya sebagai mahasiswa miskin dan buruk rupa. Berbagai penghargaan juga Alhamdulillah pernah saya rasakan dan mungkin yang paling besar adalah menjadi Mahasiswa Berprestasi Tingkat Universitas Indonesia. Namun yang paling berkesan bagi saya adalah ketika ditunjuk untuk mewakili wisudawan wisudawati dalam membacakan pidato sambutan perwakilan wisudawan wisudawati pada wisuda di fakultas. Saya hampir menangis ketika membaca naskah yang saya buat. Empat tahun lamanya saya berjuang, dengan keringat dan air mata.

Setelah itu saya Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk pergi ke beberapa negara lain misalnya Filipina, Singapura, Jepang dan Amerika Serikat. Dan mungkin yang membuat saya tersenyum lebih lebar adalah ketika saya menjadi juara pertama dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama Nasional tahun 2009. Benar-benar hadiah Tuhan yang sangat besar bagi saya.

Tidak ada kata beruntung dalam kamus hidup saya, semuanya hanya dua kutub yang berbeda. Taken for granted, dari lahir dan pemberian orang tua atau sesuatu yang didapat melalui kerja keras dan pengorbanan yang besar. Hanya orang berpikiran sempit yang selalu bergantung pada keberuntungan.

Senyum Bahagia

Saya bangga atas diri saya sendiri, bukan karena saya lebih baik dari orang lain tapi karena saya bisa berani melihat dunia saya dari sudut pandang berbeda. Dengan perjuangan, setidaknya saya bisa merasakan sedikit hal dari apa yang mustahil saya rasakan. Hal tersebut membuat saya bahagia. Di setiap dan banyak kesempatan, saya selalu menampilkan pribadi yang ceria dan senang, karena dengan cara itulah saya bisa mengurangi beban hidup saya.

Sesuatu hal yang sederhana yang saya lakukan dan tentu teman-teman bisa lakukan juga. Terlebih jika teman-teman lebih beruntung daripada saya. Saya mengajak teman-teman baik dari kelompok marginal maupun dari kalangan yang lebih beruntung untuk terus berjuang, melakukan dan mewujudkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Saya tidak tahu rencana Tuhan untuk saya, mungkin besok saya mati, atau mungkin saya besok akan mendapatkan berkah yang jauh lebih besar. Saya harus lebih banyak bersyukur atas semua nikmat dan berkah Tuhan yang selama ini saya dapatkan. Apapun itu, jika saya nanti mati, saya ingin menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini. Bahagia karena saya telah berjuang sekuat tenaga saya untuk mengubah keadaan. Bahagia karena saya tidak pernah menyerah dengan keadaan saya yang dari lahir. Dan bahagia karena saya telah menunaikan tugas saya sebagai seonggok makhluk.

*Muchdlir Zauhariy adalah mahasiswa akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia asal Jombang, Jawa Timur. Masuk sebagai angkatan 2006 dan lulus pada tahun 2010. Kunjungi laman pribadinya di  www.muchdlirzauhariy.com atau melalui Linkedin dan kicauannya @Zauhariy.

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!