Kampusgw.com

Menu

Retorika Hidup Berawal dari Sebuah Kemauan

Berawal ketika mata hari tersenyum menerangi bumi seakan mampu membawa proses kebahagiaan hidup pada saat itu. Dengan modal semangat yang mengembara pada saat duduk di bangku kelas 1 SD mampu membawaku dalam dunia semangat dalam pendidikan. Berliku canda tawa selama 3 tahun sudah semua kelam, senyuman yang awalnya bahagia seakan runtuh dengan air mata yang tak mampu tertahan di kening mataku, ketika melihat sosok pahlawan hidup terkapar tak bernyawa lagi di atas  tempat tidur yang sudah mulai kusam dimakan rayap. Tempat tidur yang terbuat dari bilahan bambu yang sudah tua, tangisan yang tiada hentinya melihat sosok ayah yang sangat memberikan kami pencerahan hidup, situasi ketika itu begitu mengaharukan di mana ibu sedang membacakan Surat Yaasin menghadap jasad ayah yang tak bernyawa, kakak dan kedua adikku berlinang air mata melihat ayah yang tak bernyawa lagi begitupun dengan aku.

“Ayah jangan pergi yah..! jangan tinggalkan kami” hentakku sambil memeluk ayah yang tak berdaya. Namun apalah daya beliau sudah dipanggil Tuhan yang hal ini akan dialami oleh setiap manusia, air mata agak mereda namun tak tertahan lagi ketika proses penguburan telah tiba, yang semula masih bisa melihat jasadnya meskipun tak bernyawa akan tetapi kali ini ayah akan dimakamkan. Artinya kami tidak akan bisa melihat  jasadnya lagi, seakan tak rela atas kepergian beliau namun ibu memeluk anak-anaknya untuk mencoba menenangkan kami, agar bisa mengikhlaskan kepergian ayah. Suasana di rumah hingga di pemakaman tampak amat mengharukan.

Kini kami tinggal sendiri tanpa sosok seorang ayah. Ibu yang dulu matanya bersinar kini berlinang air mata dalam hentakan doa. Mungkin setelah aku pikir beliau merasa berat mencari nafkah buat kami yang posisi kedua kakakku, aku sendiri dan kedua adikku masih kecil. Aku pun masih duduk di bangku kelas 4 SD.

Ya Allah kasihan melihat ibu, tapi beliau kuat berusaha menafkahi kami dengan hati yang tulus. Ibu berpanas-panasan mencari uang untuk sesuap nasi” suara relung hatiku. Senyuman yang dulu manis kini mulai keriput, keringat yang berkucuran dari badannya disinari panasnya terik matahari yang semerbak di tengah kebun orang. Ibuku terpaksa menjadi buruh. Bingung mau mancari uang ke mana sementara ibu tidak mempunyai penghasilan layaknya mereka yang berprofesi sebagai pegawai. Hanya menjadi buruhlah bisa menghasilkan uang yang halal meski pekerjaan yang memakan waktu cukup lama dan tenagapun terkuras banyak akan tetapi hasil yang didapat tidak sepadan dengan tenaga yang mungkin sangat melelahkan. Itulah yang biasa ibu lakukan, tidak kuat rasanya melihat keadaan ibu yang harus begini terus. Beliau bekerja keras mencari uang dengan begitu susahnya demi anak anaknya. Pikiran itu sempat hadir ketika aku duduk di bangku kelas 6 SD yang kebetulan sudah menunggu pengumuman kelulusan.

Ya Allah, ini tidak mungkin harus terjadi terus. Aku tidak bisa berbuat apa apa, karena memang belum bisa apa apa.” Hanya bisa membantu ibu di rumah dan di ladang. Di ladangpun sangat aku rasakan betapa susahnya menanam bibit singkong milik orang lain, membersihkan rumput di kebun orang lain, itulah pekerjaan ibuku. Dengan simponi apa yang aku rasakan susahnya hidup ini dan tak tega melihat ibu, tidak tahu dari mana aku punya pikiran satu-satunya untuk merubah keadaan ini adalah harus meningkatkan pendidikan. Karena melalui pendidikanlah semua bisa terangkat, pikiran yang sejenak mampir di ranah otak berfikirku ketika pengumuman kelulusan SD dan aku dinyatakan lulus. Rasa bangga aku pulang kerumah memeluk ibu.

Aku Hampir Putus Sekolah

Selamat ya nak kamu telah lulus menyelesaikan pendidikan dasarmu. Ibu bangga dengan kamu Sim, soalnya ibu dulu bisa mencicipi bangku sekolah sampai kelas 2 SD saja terbentur dengan biaya dan pada saat itu pula ayah ibu, kakekmu sudah meninggal sejak ibu di kandunga. Jadi ibu tidak pernah bertemu bahkan muka kakekmu saja ibu tidak tahu nak.” Sempat haru juga mendengar selayang pandang ibuku, mungkin pada saat itu tidak ada foto-foto kakekk. Oleh karena itu, ibu tidak tahu wajah kakek, namun semangat pun tetap membara di hati ini. Keinginan untuk melanjutkan di bangku SMP tidak memadamkan semangat meskipun tidak ada biaya.

Ku lihat ibu sedang duduk sambil merenda kain Tapis Lampung, kain tradisional khas masyarakat Lampung yang biasa digunakan untuk pesta adat. Situasi itu aku manfaatkan untuk menceritakan keinginanku untuk masuk SMP.

Bu, Rosim ingin melanjutkan belajar ke SMP..” Kalimat yang aku sampaikan ketika aku mendekati ibu. “Apa..? mau melanjutkan ke SMP ? “ Tanggapan Ibu kepadaku dengan nada seperti orang kaget.

“Kenapa bu…?” tanyaku sambil menganggukkan kepala lalu ibu diam tidak meneruskan perbincangan pada saat itu. Kemudian aku tidur namun pikiran selalu tetap bersih kukuh apapun caranya harus melanjutkan ke SMP karena aku tidak mau terus-terusan hidup susah begini. Di lain sisi aku berpikir tidak ada dananya. Setelah aku analisa ternyata ibu diam karena dia mungkin memikirkan dana. Hal itu tepat ketika pagi itu ibu berbicara kalau tidak ada biaya untuk menyekolahkan ku.

“Sim..! ibu selalu dukung keinginan kamu, tapi kali ini ibu tidak bisa memenuhi keinginanmu. Lihatlah kakak-kakak kamu. Jangankan mereka, ibu dan ayah saja tidak lulus SD karena benturan biaya. Ibu tidak ada biaya nak, makan saja ibu terkadang kesusahan, ibu tidak memiliki cukup uang kalau “tidak upahan” dengan orang lain” Jelas ibu kepadaku.

Air mata sempat keluar membasahi pipiku begitupun ibu. Tapi “Ya bu..! Tidak apa-apa, doakan saja yang terbaik untuk anakmu ini bu.” Sambungku saat pagi itu yang hentak dengan malu-malu mentari menyinari dunia yang menantinya. Semangat sempat lunglai dan pikiran untuk sekolah sempat hilang namun bangkit kembali melihat retorika yang ada, aku harus dapat seperti orang-orang yang menjadi pejabat, aku harus bisa menggapai citacita menjadi gubernur. Keesokan harinya aku, adikku dan ibu mencari singkong di kebun orang yang sudah dijual, kebetulan di kebun paman sendiri. Setelah menunaikan shalat dzuhur, aku bertemu dengan sepupuku dan mengutarakan bahwa aku ingin sekolah walaupun tidak ada biaya.

Dengan ridho Allah SWT, akhirnya aku pun berkesempatan sekolah berkat jasa sepupu, duduk di bangku kelas 1 SMPN 2 Gunung Sugih Lampung Tengah. Ibu dan kakakku tentu bangga adiknya akhirnya bisa sekolah. Setelah duduk di bangku SMP, berbagai retorika aku jalani mulai dari lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga. Satu semester lamanya aku sekolah naik sepeda pemberian tetangga. Mungkin mereka memberikan karena melihat semangatku dan agar tidak boros untuk ongkos naik angkot. Dengan keseriusan di sekolah, belajar dengan rajin membuahkan hasil yang memuaskan dan sepadan. Di kelas VII, aku dipercaya mejadi ketua kelas hingga kelas IX dan Sekretaris OSIS kemudian di kelas VIII dipercaya untuk mengemban amanah menjadi Ketua OSIS.

Rasa syukur aku haturkan kepada Tuhan, karena atas kehendak beliaulah aku bisa seperti ini. Namun di lain sisi berbagai masalah banyak aku hadapi mulai sekolah tidak ada ongkos, di sekolah jarang membawa uang saku, bahkan sempat tidak memiliki dana untuk membayar SPP. Dengan memberanikan diri, aku mengahadap sepupu meminta uang untuk bayaran namun bukan malah diberi tapi justru dimarahi bahkan pernah sempat dicaci maki, dihina oleh bibiku.

Bibi berkata “mana ayamu, mana ibumu, mana kakak-kakakmu? Kenapa jadi minta bayaran kepada anakku?” Tak heran akupun diam, diam bukan berarti tidak bisa menjawab namun menangis tengadah tidak bisa berkata apapun. Ya Allah, alangkah sakit hati hamba dihina seperti ini, memang susah ya Allah jadi orang miskin, namun hal itu jadi cambuk bagiku kelak menyongsong kesuksesan. Aku hanya bisa berdoa dan mengadu kepada Allah, karena kalau mau cerita dengan kakak-kakakku mereka juga tidak mampu dan mau cerita ke ibuku tapi takut beliau justru pusing memikirkan. Aku tidak mau melihat ibu pusing karena masalah biaya pendidikanku. Bangun tengah malam suasana begitu hening tersentuh air wudhu begitu dingin ku paksakan, di tengah sajadah tanganku bertengadah meminta petujuk kepada Allah  masalah jalan keluar ini.

Serasa pada saat itu almarhum ayah menghampiriku terliang bisikan “tenang nak, Allah Maha Kaya yakinlah.” teringat pesan ayah di mana ada kemauan di situ ada jalan. Pendirian yakin itu sangat kuat pada hati ini. Keesokan harinya aku berangkat sekolah. Setelah jam pertama aku dipanggil Waka Kesiswaan ke Ruang Guru. Timbul pertanyaan ada apa? Jangan-jangan karena aku belum melunasi SPP. Ternyata rasa ketakutan itu berubah menjadi kebahagiaan, aku mendapatkan beasiswa. Dari situlah mulai semangat ternyata Allah tidak membiarkan umatnya kesusahan. Dari kelas VII hingga lulus SMP mendapatkan beasiswa. Tentu ibu di rumah kembali bangga apalagi aku lulus SMP. Kebanggaannya “akhirnya anakku dapat menyelesaikan sekolahnya yang dulu ia sangat ingin sekali melanjutkan ke SMP dan aku tidak mampu membiayainya. Itupun usaha nya sendiri.” Suara relung hati ibu.

Bekerja Serabutan Sebelum Memasuki SMA

Setelah lulus SMP, sempat ditawarkan untuk bekerja di toko oleh saudara di Bandar Lampung. Akupun terkesipu mau tapi setelah mendapatkan ijazah. Sembari menanti pembagian ijazah, aku memanfaatkan waktu senggang itu untuk membantu meringankan beban ibu dengan ikut kakak bekerja di pangkalan pasir. Kelihatannya enak apalagi dapat uang lumayan besar. Setelah ku coba selama satu bulan ternyata ini tidak bisa diteruskan. Pasalnya kerja begitu susah! Bayangkan membuang air di jalan ketika hujan dan menutupinya dengan tanah dan batu ketika panas karena jalan itu untuk mobil-mobil yang mengangkut pasir masuk dan keluar pangkalan. Kerjanya pun sampai malam bahkan lembur hingga besok kembali. Uang yang didapatkan berkisar antara 80 ribu sampai 100 ribu rupiah.

Timbullah pikiran “kapan aku bisa beli motor, bisa buat rumah kalau kerjanya seperti ini?” Bukannya tidak mensyukuri tapi memikirkan masa depan, pikiran yang hadir saat itu. Melihat anak-anak sekolah pulang siang hari, timbul pikiran untuk kembali melanjutkan pendidikan di bangku SMA. Soalnya kerja yang ku jalani sekarang sangat susah, tidak bisa dipertahankan. Jangankan ijazah SMP, ijazah SMA saja tidak berlaku kalau kerja di kantor-kantor. Itulah kenapa muncul keinginan untuk sekolah. Tapi dari mana uang untuk biaya sekolah?

Bingung dan harus mau bagaimana? Sementara pada saat itu bertepatan dengan pernikahan kakak perempuanku dan ibu pernah berujar kalau beliau tidak mampu membiayai. Tapi aku berusaha tidak putus semangat, akhirnya dengan nomor urut 50 aku dinyatakan diterima di SMAN 1 Gunung Sugih. Selama duduk di bangku kelas X, banyak sekali ujian yang Allah berikan sampai ingin mengundurkan diri karena terbentur dana tepat menjelang tenggat waktu pembayaran SPP semester pertama tiba. Daftar ulang pendaftaran pun belum lunas. Aku pun hanya bisa berpikir, “Ya Allah harus ke mana hamba mencari uang  sementara ibu tidak mampu. Jjangankan mau bayar SPP, makan saja susah.”

Setelah berbicara dengan Waka. Kesiswaan akhirnya aku mendapatkan Nomor Ujian Semester walaupun baru dapat diambil ketika proses ujian telah berjalan. Aku harus legowo mengerjakan ujian satu jam lebih lambat untuk mengurusinya. Walaupun masih ada rasa malu kepada teman-teman, aku memberanikan diri demi sebuah kesuksesan.

Hari terus berlanjut seakan tidak memperhatikan kondisi dan keinginanku. Ujian yang Allah berikan terus berjalan. Pada saat itu tepat pada hari Rabu tertinggal aku sendiri di rumah. Ibu dan kakak-kakakku menginap  di tempat saudara karena ada hajatan. Pada saat itu aku diuji Allah dengan berangkat sekolah hanya memegang uang seribu rupiah. Itu hanya cukup untuk ongkos pergi. Namun ide terus berjalan. Kebetulan di rumah banyak lada hasil panen satu pohon di belakang rumah, satu botol ku ambil untuk dijual lima ribu rupiah yang kemudian uang itu aku gunakan untuk ongkos. Tapi satu pun tidak ada yang mau membelinya. Tidak tahu mengapa “Ya Allah haruskah hamba jalan menuntut ilmu dengan modal seribu rupiah ini? Alangkah pedih ujianmu ya Allah.” Keluhku pada saat itu.

Dengan senyuman yang manis, menutupi aura kesedihan di muka, dengan niat modal uang seribu untuk menuntut ilmu, aku tidak memikirkan bagaimana mau pulang. Ternyata dengan optimisku tadi, saudaraku memberi uang lima puluh ribu rupiah. Uang tersebut kiriman abang yang kerja di Jepang. Senang sekali rasanya saat itu jalan ke sekolah dengan modal uang seribu rupiah untuk menuntut ilmu dan keyakinan yang kuat uang tersebut berlipat menjadi lima puluh ribu rupiah. Maha Besar Allah yang menggerakkan hati manusia. Kebetulan pada saat itu ada pelajaran bahasa Indonesia yang bercerita tentang pengalaman. Nah, aku cerita semua sampai sampai guruku Pak Mirzam dan teman teman menangis begitu diriku sendiri.

Tahun pun berganti tidak terasa menduduki kelas XI. Aku terpilih menjadi Ketua OSIS setelah melalui proses yang demokrastis. Menang mutlak dengan perolehan suara 80% mengalahkan dua kandidat lain yang kebetulan perempuan. Dari sini aku belajar berorganisasi dengan baik dan bertemu dengan sosok yang memahami posisiku sebagai anak yang terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Beliau pernah mengalami apa yang ku rasakan sehingga selalu memotivasiku dan ku anggap seperti bapak sendiri. Adalah Bapak Drs. Rusli yang kebetulan guruku sendiri. Ternyata dulu waktu duduk di bangku kelas X semester 2, satu bulan penuh aku berdoa agar Allah mengirim satu orang yang mengerti dan menjadi “tempat curhat” ketika hati ini merasa lemah di timpa masalah. Allah menjawab permintaanku satu itu. “Terima kasih Pak Rusli atas motivasi bapak selama ini. Arahan dan dukungan bapak, akan Rosim ingat selalu bapakku.” Begitu pula dengan Bapak Drs.H.Dasiyo Priambodo, M.Pd. 

Dengan mengemban amanah sebagai Ketua OSIS dan waktu yang sama menjabat 6  rangkap ketua organisasi baik di sekolah maupun di luar sekolah, aku benar-benar menyalurkan hobiku berorganisasi. Sehingga akhir pekan pun tercurahkan untuk organisasi-organisasi tersebut. Pernah ada seorang kawan yang masih satu gang rumah denganku berkata, “Sekolah kok gak pernah libur, kegiatan terus?” Tapi itu menjadi motivasi untuk berkembang.

Dengan semangat yang luar biasa mampu mengantarkanku hingga ke Istana Presiden Republik Indonesia bersama tim dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dalam rangka studi bersama anak-anak berprestasi di Lampung Tengah. Sempat berfikir, “Ya Allah mungkin di keluarga besar baru hamba yang menginjak istana ini.” Begitupun hal yang berkesan bagiku saat dipilih untuk mewakili peserta Latgab Paskibra se-Lampung Tengah yang langsung disemat oleh bupati. Rasa bangga dan mengaharukan ini tidak lain karena doa dan usaha ibu tercinta. Setidaknya ini cukup menghibur selama ujian datang bertubi-tubi.

Menjelang kelulusan SMA, terbersit kembali keinginan untuk melanjutkan belajar. Sama seperti yang sudah-sudah, aku sampaikan keinginan ini kepada ibu. “ Sim, janganlah dikau kuliah. Biaya dari SMP dan SMA saja ibu tidak mampu. Berpikirlah dua kali nak.” Tukas Ibu kepadaku. Lalu aku menjawab,” Ya Bu, tidak usah khawatir masalah biaya. Allah Maha Kaya Bu. Insyallah Rosim hanya minta doa ibu.” Dengan muka meyakinkannya.

Aku Harus Kuliah!

SMA-ku merekomendasikan Rosim mengikuti SNMPTN jalur Undangan. Namun apa daya aku belum berhasil. Belajar kesabaran lagi. Padahal uang pendaftaran ku dapat dari Ibu, seratus ribu rupiah hilang begitu saja. Aku gagal lagi! Aku sempat kecewa karena mungkin uang tersebut dapat digunakan untuk membeli beras. Pikiranku melayang menunjukkan kekecewaan dan penyesalan yang begitu mendalam. Namun aku tetap bersemangat untuk mengikuti SNMPTN Tertulis walaupun kurang persiapan seperti yang dilakukan teman-teman yang memiliki biaya untuk ikut kursus. Lagi-lagi, tidak ada biaya untuk mendaftarnya. Dengan rasa sungkan aku meminta Bapak Angkatku Pak Rusli melalui SMS. Beliau menjawab tidak memiki uang juga.

Selidik demi selidik, Pak Rusli – guru SMA Rosim- hanya menguji semangatku di akhir masa tenggat pendaftaran SNMPTN itu. Cucuran air mata membasahi keningku di kala aku memberanikan diri meminta bantuan kepada Bendahara Sekolah. Pak Rusli membiayai pendaftaran, Alhamdulilah. Lagi, mungkin belum rezekiku karena aku dinyatakan gagal. Ada rasa kecewa terhadap diri sendiri maupun kepada Bapak Rusli yang telah membantu. Rasa hati begitu ingin kuliah ku curahkan ketika menunaikan shalat Isya. Aku berdoa kepada Allah. Keesokan harinya aku mendapatkan informasi dari seorang kawan di Facebook bahwa Universitas Lampung membuka pendaftaran bagi mahasiswa baru yang “tidak mampu” alias miskin namun berprestasi melalui jalur PMPAP. Kebetulan piagam-piagam bukti prestasiku seperti Juara I Lomba LCT UU Lalu Lintas se-Lampung Tengah, Juara 3 Lomba LCT Pramuka se-Lampung dan penghargaan Siswa Berprestasi dari sekolah serta 15 piagam lainnya menjadi modal tersendiri. Dengan itu ada keyakinan dalam diri untuk mengurusi persyaratan baik dari sekolah maupun kelurahan kampungku.

Lanjut cerita pada saat pengumuman dinyatakan lulus di jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, rasa syukur bercampur bangga menyelimuti pikiranku. Aku pun langsung memberi kabar keluarga di rumah. Ibu kaget bukan kepalang karena tidak menyangka bahwwa anaknya bisa kuliah. Begitu juga dengan kakak-kakaknya. Sungguh Maha Besar Allah hingga akupun direkomendasikan untuk ikut program beasiswa Bidik Misi dan dinyatakan lulus. Mendapatkan beasiswa tidak kurang dari enam juta rupiah per semester.

Program Bidik Misi adalah salah satu program yang diadakan oleh pemerintah untuk membantu para mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi namun berpestasi seperti aku. Beasiswa terdiri dari biaya kuliah dan biaya hidup di kota Bandar Lampung. Sebelum masa perkuliahan dimulai, aku juga pernah bekerja sebagai penyiar radio Slendro 106,2 FM selama dua bulan. Karena tidak ingin menyusahkan lagi kerabatku, aku sempat bingung memikirkan tempat tinggal di ibukota provinsi Lampung itu. Sebenarnya mahasiswa penerima Bidik Misi mendapatkan asrama dengan syarat membayar uang muka lima ratus ribu rupiah. Karena biaya hidup beasiswa Bidik Misi belum cair, akhirnya aku bertemu dengan seorang pengusaha di Lampung Tengah yang menawarkan tempat tinggal di rumahnya. Aku pun mengiyakan. Beliau seperti kakak sendiri yang sangat mengerti situasi dan kondisi yang ku hadapi. Bahkan, beliau juga rela meminjamkan sepeda motor dan seperangkat komputer untukku. Kini aku sudah tinggal lagi dengan beliau karena aku ingi belajar lebih mandiri agar mampu memahami arti hidup yang sesungguhnya.

Kini semuanya tinggal aku yang menjalani berbagai retorika yang ada meski terkadang ritorika itu menyakitkan namun tetap dijalani dengan senyuman meskipun dibalik senyuman hati ini menangis, Berbagai ujian melampiri namun ku senantiasa ku hadapi dengan senyuman. Subhanallah, nikmat Allah yang lebih besar karena aku kenal dekat dengan Kolonel Czi. Amalsyah Tarmiiz, S.IP – Danrem 043 Gatam Provinsi Lampung. “Ya Allah terima kasih atas segala nikmatmu, aku bersyukur.” Inilah kisah hidup yang ku mulai dari nol hingga sekarang di mana keluarga tidak mampu dan aku mampu berbuat.

Perjalanan pahit mulai dari hinaan, cacian bahkan remehan orang lain saya terima dengan legowo. Aku berjanji akan mengangkat derajat keluarga hingga orang yang meremehkan tersebut tidak menyangka melihat revolusiku kelak. Karena aku yakin pasti bisa berbuat dan bertindak. Aku telah membuktikan retorika-retorika selama ini. Mungkin ini gambaran dan tanda-tanda menuju titik puncak. Sekarang tinggal aku menjalaninya. Ini sudah menjadi garis perjalanan hidupku. Terima kasih ayah, ibu, dan keluarga serta orang yang telah hadir dalam cerita hidupku.

Rosim Nyerupa

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

https://www.facebook.com/rosimnyerupa

 

Categories:   Sosok

Comments

error: Content is protected !!